fatkhiyah

Minggu, 28 Mei 2017

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS PERIODE V



SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS
PERIODE V
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen pengampu : Drs. H.M Zain Yusuf, M.M
Jurusan : Manajemen Dakwah (MD)

 



Oleh    :
Rifai                            1501036023
Nurul Khamidah         1501036025
Abdul Sukur               1501036036
Alfiana Zarofah            121311015

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setelah Rasulullah Saw Muhammad SAW wafat  para sahabat belum memikirkan akan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits, karena banyak peroblem yang dihadapai para sahabat, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam pembukuan al-Qur’an. Demikian juga kasus lain, kondisi orang-orang asing atau non Arab yang masuk Islam yang tidak faham dalam bahasa Arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan al-Qur’an dan Hadits. Abu Bakar pernah berkeinginan  membukukan sunah tetapi digagalkan karena kekhawatiran terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Baru Pada abad ke-2 Hijrah hadits hanya dikumpulkan dan dibukukan tanpa memisakhan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, maka para ahli hadits pada abad ke-3 Hijrah memperbaikinya dengan mengumpulkan dan memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu.Para ulama hadits melakukan pemisahan antara hadits shahih dan hadits dha’if karena pada waktu itu mereka masih mencampuradukan antara hadits shahih, hasan dan dha’if. Pada periode abad ke-3 H ini tepatnya saat Dinasti Abbasiyah yang dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir ( sekitar 201-300H) dimulailah pemisahan hadist shahih dan hadits dha’ifnya.disamping itu pula mereka menetapkan kaidah-kaidah hadits, ilat-ilat hadits, dan tafsir sejumlah perwi-perawi hadits.[1]
Maka pada periode kelima  ini kita akan membahas tentang peisahan dan penyusunan hadits oleh para ulama pada abad ke-3 Hijriyah.
B.     Rumusan Masalah
Dari ulasan latar belakang diatas kita akan membahas rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pentashihan hadits dan penyusunan kaidah-kaidah hadits?
2.      Bagaimana langkah-langkah memelihara hadits?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh hadits periode kelima?

II.                PEMBAHASAN
A.    Pentashihan Hadits
Dalam abad ke-3 Hiriyah usaha pembukuan hadist memuncak. Pada mulanya, ulama islam mengumpulkan hadits yang terdapat dikota masing-masing. Hanya sebagian kecil saja yang pergi keluar kota untuk mengumpulkan hadits seperti al-Bukhari. Beliau membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadits yang tersebar diberbagai daerah.Enam belas tahun lamanya beliau terus menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab shohihnya.
Pada mulanya ulama menerima hadits dari perawi, lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits yaitu dengan menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudhu’.
Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadits-hadits yang shahih dari yang dha’if yakni menshahihkan hadits.
Pembahasan mengenai diri pribadi perawi menghasilkan ilmu Qawa’id at-Tahdits (kaidah-kaidah tahdits), ‘Illat-‘illat hadits dan Tarjamah (riwayat) perawi-perawi hadits.
Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Dirayah (Ilmu Dirayah al-Hadits) yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadits).
Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if dengan mempergunakan syarat-syarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’, melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan.
1.      Periode Dasar -dasar Pentashihan Hadits
Untuk mentashihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang Tarikh Rijal al-hadits (sejarah perawi hadits), tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang mendalam tentang parawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman al-Bukhary (umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta, siapa yang lalai.
Al-Bukhary mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang hadits.Kedua, keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn untuk menerangkan keadaan perawi-perawi hadits.al-Bukhary dalam menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela, mempergunakan kata-kata yang sopan sekali.
Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti az-Zuhry, tentu tidak sama semuanya. Ada yang erat dengan az-Zuhry, ada yang tidak.al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak erat hubungannya, sama dengan menerima perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal saja perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.
Al-allamah muhammad zahijd al-kutsary mengatakan bahwa diantara yang menarik perhatian adalah al-Bukhary dan Muslim tidak menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal al-Bukhary dan muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan menerimah hadits dari mereka. Juga al-Bukhary dan muslim tidak mentakhrijkan hadits imam Asy-Syafi’y padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian ashabnya. Juga al-Bukhary tidak mentakhrijkan hadits-hadits ahmad selain dari dua hadits, satu secara ta’liq, satu lagi secara nasil dengan perantaraan, padahal al-Bukhary mendapati ahmad dan bergaul dengannya. Muslim tidak mentakhrijkan dalam shahinya barang satu hadits dari hadits al-Bukhary, padahal muslim bergaul dengannya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits ahmad selain dari 30 hadits, ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari malik dari nafi melalui jalan Asy-Syafi’y padahal sanad inni dipandang paling sah, selain dari empat hadits.
2.      Periode Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih
Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
Pekerjaan yang mulia ini, kemudian disempurnakan ole imam al-Bukhary.Al-Bukhry menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami’ ash-shahih yang membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih saja.Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih.
Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (sunan At-Tirmidzy) dan AnNasa’y (sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (al-Ushul al-Khamsah).
Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab sunan yakni Sunan Ibnu Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal dengan namaal-Kutub as-Sittah. Di bawah kitab yang enam ini ulama menempatkan Musnad al-Imam Ahmad.[2]
B.     Langkah-Langkah Pemeliharaan Hadits
1.      Mengisnadkan Hadits
Para sahabat sesudah Nabi saw. Wafat, saling mempercayai.Para tabi’in dengan tidak tertugun-tegun menerima hadits yang diriwayatkan kepadanya oleh seorang shahaby.Keadaan tersebut berjalan sampai timbulnya fitnah yang digerakan oleh Abdullah Ibnu Saba, seorang yahudi yang bermaksud jahat terhadap Islam.Dia menggerakan ummat untuk menganut paham tasyayyu’ (paham memihak kepada Ali dan mempertahan kekhalifaan di tangan Ali dan keturunannya).Mereka ada yang mengaku keturunan Ali.Sejak itu, timbulnya penyisipan ke dalam hadits, penyisipan itu kian hari kian bertambah.
Berkenaan dengan hal itu, mulailah ulama baik dari kalangan sahabat, maupun tabi’in berhati-hati menerima riwayat yang diberikan kepada mereka.Mereka mulai tidak lagi menerima hadits kecuali yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-perawinya dan keadilan mereka.Ibnu sirin berkata (menurut riwayat Muslim dalam muqaddimah shahihnya), “para sahabat dan tabi’in tidak menanyakan tentang hal isnad.Namun, ketika mulai terjadi fitnah, maka ketika menerima suatu hadits bertanya, siapa yang memberikan hadits itu?sesudah diketahui sanad, diperiksalah apa sanad itu terjadi dari Ahlus Sunnah. Kalau benar, diambillah hadits itu.Kalau perawi itu dari golongan ahli bid’ah, ditolaklah hadits itu.”Keadaan ini mulai berlaku di zaman sahabat kecil, yang meninggal sesudah terjadi fitnah.
Diriwayatkan Muslim dari Mujahid, bahwa Busyair al-adawy datang kepada Ibnu Abbas, lalu menceritakan hadits kepadanya.Ibnu Abbas tidak memperhatikan hadits-hadits yang di riwayatkan itu.Maka Busyair bertanya, “apakah sebabnya anda tijdak mendengarkan hadits-hadits yang saya riwayatkan?”Ibnu Abbas menjawab, “Dahulu, apabila mendengar hadits, kami memperhatikannya dengan sebaik-baiknya.Ketika manusia telah mengendarai binatang jinak dan liar, tidaklah kami menerima selain dari yang kami ketahui.”Berkenaan dengan ini pula, ketika telah berkecamuknya kedustaan para tabi’in memintakan isnad.
Abu Aliyah berkata, “kami mendengar hadits-hadits dari seorang sahabat.Kami tidak senang kalau kami tidak berpayah-payah datang kepada sahabat itu untuk mendengar hadits.”
2.      Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima
Seseorang yang menerima hadits, berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi’in dan imam-imam hadits.Dengan inayah Allah SWT, banyak para sahabat yang hidup lama.Maka ketika timbul kedustaan dalam hal hadits, seseorang yang menerima hadits pergi kepada para sahabat untuk menanyakan hadist yang diterimanya.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya dari Ibnu Abi Mulaikah:
كتبت الى ابن عبا س ان يكتب لي كتا با و يخفي عني فقا ل : و لد نا صح ، انااختار له الاموراختياراواخفي عنه؟ فقا ل: فد عا بقضا ء علي فجعل يكتب منه شيئا ويمر باالشيئ فيقول : والله، ماقضى بهذاعلي الاان يكون قدضل.
“Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas supaya beliau menulis untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan (yang tidak baik) pada saya.Ibnu Abbas berkata, “Seorang anak yang jujur, saya akan memilih untuknya beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak benar).Ibnu Mulaikah berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang membawakan kepadanya kitab hukum Ali.Lalu beliau menyalin beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila didapatinya yang tidak benar, berkata, “demi Allah, Ali tidak menghukum begini, terkecuali dia sesat.”
Untuk memenuhi maksud ini para sahabat dan para tabi’in membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar hadits-hadits dari orang terpercaya.
Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy berkata, “saya berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah hadits.”
3.      Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
Inilah sebuah usaha besar yang dilaksanakan ulama untuk membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang tidak dan yang kuat dari yang lemah.Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali.Mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang tersembunyi bagi umum dari keaadaan-keadaan para perawi-perawi itu.Mereka dengan tidak segan–segan menerangkan cacat seorang perawi dan memberitakannya kepada umum.
Pernah dikatakan orang kepada Yahya Ibn Said al-Qaththan, “Apakah anda tidak takut pada hari kiamat mereka menjadi seteru anda di hadapan Allah?” Yahya menjawab, “Saya lebih suka menjadi seteru mereka daripada menjadi seteru Rasul saw. Rasul akan bertanya,” mengapa kamu tidak membela sunnahku?”
Untuk ini ulama telah membuat undang-undang atau kaidah umum untuk menetapkan orang-orang boleh diterima riwayatnya dan yang tidak. Mereka juga menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil atau Ilmu Mizan ar-Rijal.
4.     Membuat Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits
Ulama membagi hadits dalam beberapa derajat. Masing-masing derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membagi hadits menjadi shahih dan dha’if.Mereka membuat kaidah- kaidah untuk mensahihkan suatu hadits dan untuk men-dha’if-kannya. Dengan perkataan lain, mereka melahirkan ilmu mustalahul hadits, yaitu ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk mengkritik, mengoreksi khabar dan riwayat.
Ringkasnya, ulama hadits menyusun qawaid (kaidah-kaidah) tahdits dan ushulnya, syarat-syarat menerima riwayat dan menolaknya, syarat-syarat shahih, dha’if.
5.     Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
Untuk menyaring hadits, menapis dan memisahkan hadits-hadits yang sahih, hasan dan dha’if dari maudhu’, yang dipandang seburuk-buruk hadist dha’if, mereka menetapkan dasar-dasar yang harus kita pegang dalam menentukan hadits-hadits maudhu’ itu.
Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu’ yang sudah banyak tersebar dalam masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu maksud kemuslihatan.[3]
Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (275 H), al-Tirmidzi (279 H), al-Nasa’i (303 H), dan Ibn Majah (273 H).[4]
C.     Tokoh-Tokoh Hadits
Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (225 H).[5]
kitab-kitab itu kemudian dikenal dikalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas sebagai berikut:
1.      Al-Jami’ash Shahih susunan Al-Bukhari.
2.      Al-Jami’ash Shahih susunan Muslim.
3.      As-Sunan susunan Abu Daud.
4.      As-Sunan susunan At-Turmudzi.
5.      As-Sunan susunan An-Nasa’i.
6.      As-Sunan susunan Ibn Majah.
Ada Pun Bentuk penyusunan Kitab hadist pada Abad ke III Hijriyah adalah:
a.       Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist sahih,sedangkan yang tidak    shahih tidak dimasukkan kedalamnya.Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu penyajian berdasarkan bab masalah tertentu. Hadist yang dihimpun menyangkut masalah fiqh ,aqidah ,akhlak ,sejarah dan tafsir .Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
b.      Kitab Sunan. Didalam kitab ini dijumpai hadist yang sahih dan juga hadit dhaif yang tidak terlalu lemah dan mungkar.Terhadap hadist dhaif dijelaskan sebab kedhaifannya. Bentuk penyusunannya berbentuk Mushannaf dan hadistnya terbatas hanya pada masalah fiqh .Contoh : Sunan Abu Dawud, Sunan at Turmidzi, Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al Darimi.
c.       Kitab Musnad. Didalam kitab ini hadist disususn berdasrkan nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasrkan nabi kabilah seperti bani hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan nama sahabat berdasrkan urutan waktu memeluk Islam,dan ada yang berdasarkan hijaiyah dll. Contoh : Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu qasim Albaghawi, dan musnab ustman ibn abi syaibah.[6]


III.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if dengan mempergunakan syarat-syarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’, melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan.
2.      Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
3.      Langkah-Langkah Pemeliharaan Hadits
a.       Mengisnadkan Hadits
b.      Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima
c.       Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
d.    Membuat Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits
e.     Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
4.      Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (225 H).
B.     Penutup
Demikianlah uraian yang dapat Penulis sampaikan dalam makalah ini. Sebagai manusia biasa, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada umumnya.



















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia. 1998
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku.,Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Putaka Rizki Putra. 2009
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama. 1996


[1]MuhammadAhmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis,Bandung: Pustaka Setia, 1998.Hlm.30
[2]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.Sejarah &Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009. Hlm 60-62
[3]Ibid. Hlm 65-68
[4]M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995.Hlm. 115
[5]Ibid. Hlm  36
[6]Utang Ranuwijay,  Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.