AKHLAK DAN POLITIK MASA KHULAFAUR
RASYIDIN
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen
Pengampu : Dr. H. Djasadi M.Pd
Disusun
Oleh :
Fatkhiyah
eka himawati (1501036010)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Kehidupan bernegara dengan system
pemerintahan secara Islami telah terwujudkan sejak masa Nabi. Tepatnya
terhitung setelah peristiwa hijrah ke Madinah. Dimana tercipta suatu tatanan
kahidupan bermasyarakat yang damai di tengah-tengah pluralitas suku, agama dan
keyakinan.
Pemerintah politik masa Khulafaur
Rasyidin di masa Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali sudah pasti berbeda setiap
memegang ke pimpinannya, pada masa Khulafaur Rasyidin prinsip musyawarah,
persamaan kebebasan berpendapat menjadi realisasi dari penerapan ajaran
Al-Quran dan Sunnah Rasul. Pemahaman dan penafsiran terhadap pemerintahan
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dengan Dinasti Ummayah dan sekarang memiliki
perbedaan dan keterkaitan.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengetian akhlak dan politik secara umum ?
2.
Apa niat dan tujuan berpolitik menurut Islam ?
3.
Bagaimana sistem politik yang berlaku pada masa
khulafaur rasyidin?
III.
PEMBAHASAN
1.
Akhlak politik dalam islam bermula dari niat dan
tujuan memasuki kancah politik. Seorang yang ingin berkecimpung dalam dunia
politik, baik sebagai legislatif, yudikatif, maupun eksekutif, harus mempunyai
niat dan motivasi yang benar.
2.
Niat dan tujuan berpolitik menurut islam adalah:
a)
Menegakkan keadilan dan kebenaran
b)
Membela kepentingan rakyat
c)
Menyeru kebaikan (amar ma`ruf) dan mencegah
kemungkaran (nahi mungkar).
3.
Akhlak Politik Khulafaur
Rasyidin
Khulafah Rasyidin merupakan para
pemimpin umat Islam setelah Nabi Shallallahu `Alaihi wasallam wafat, yaitu pada
masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib. Dimana sistem pemerintahan pada masa ke empat khalifah adalah
pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Quran dan
As-Sunah.
Abu Bakar Ash-Shiddiq
Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar
Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah
juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abu
Bakar Radhiallahu ‘Anhu selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah
sebelum mengambil keputusan mengenai sesuatu yang berfungsi sebagai lembaga
legislatif pemerintahannya. Adapun urusan pemerintahan diluar kota madinah,
khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum Negara Madinah menjadi
beberapa propinsi, dan setiap propinsi aa menugaskan seorang amir atau wali
(semacam jabatan gubernur).
Sebagai mana Abu Bakar, Umar bin
khattab pun di bai’at dihadapan umat muslimin, bagian dari pidatonya adalah:
“Aku telah dipilih jadi khalifah kerendahan hati Abu
Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat diantara
kamu dan juga lebih mampu memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku
diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama seperti beliau, andaikata aku tahu ada
orang yang lebih kuat daripada aku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan
leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini”.
Sebagai seorang negarawan yang patut
diteladani, ia telah menggariskan:
a. Persyaratan
bagi calon negara.
b. Menetapkan
dasar-dasar pengelolaan negara.
c. Mendorong
para pejabat negara agar benar-benar meperhatikan kemaslahatan rakyat dan
melindungi hak-haknya karena mereka adalah pengabdi rakyat dan bagian dari
rakyat itu sendiri.
d. Pejabat yang
dipegang seseorang adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada tuhan
dan rakyat.
e. Mendidik
rakyat supaya berani memberi nasihat dan kritik kepada pemerintah, pemerintah
juga harus berani menerima kritik dari siapapun sekalipun menyakitkan karena
pemerintah lahir dari rakyat dan untuk rakyat.
f. Khalifah
Umar telah meletakkan dasar-dasar pengadilan dalam Islam.
Ia selalu mengadakan musyawarah
dengan tokoh-tokoh ansar dan Muhajirin, dengan rakyat dan dengan para
administrator pemerintahan untuk memecahkan masalah-masalah umum dan
kenegaraan, ia tidak bertindak sewenang-wenang dan memutuskan suatu urusan
tanpa mengikutsertakan warga umat.
Pada masa kepemimpinan Umar
Radhiallahu ‘Anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan
daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘Anhu segera mengatur
administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah,
Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang
dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem
pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan
lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.
Adapun kekuasaan eksekutif dipegang
oleh Umar bin Khattab dalam kedudukannya sebagai kepala Negara, untuk menunjung
kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas eksekutif, Umar
melengkapinya dengan beberapa jawatan, diantaranya diwana al-kharaj (jawatan
pajak), diwana al-ahdats (jawatan kepolisian), nazarat al-nafi’at (jawatan
pekerjaan umum), diwana al-jund (jawatan militer), dan baitul al-mal (baitul
mal).
Setelah Usman bin Affan dilantik
menjadi khlifah ketiga negara Madinah, ia menyampaikan pidatonya yang
menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak
agama ketimbang politik belaka sebagai dominan. Dalam pidato itu Usman
mengingatkan beberapa hal yang penting:
a. Agar umat Islam
berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian.
b. Agar umat
Islam tidak terpedaya kemewahan hidup dunia yang penuh kepalsuan.
c. Agar umat
Islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu.
d. Sebagai
khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Quran dan sunnah rasul.
e. Di samping
meneruskan apa yang telah dilkukan pendahulunya juga akan membuat hal baru yang
akan membawa kepada kebajikan.
f. Umat Islam
boleh mengkritiknya bila ia menyimpang dari ketentuan hukum.
Untuk pelaksanaan administrasi
pemerintahan didaerah, Khalifah Usman mempercayakannya kepada seorang gubernur
untuk setiap wilayah atau propinsi pada masanya kekuasaan wilayah Madina dibagi
menjadi 10 propinsi. Sedangkan kekuasaan legislatif dipegang oleh dewan
penasehat syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para sahabat
terkemuka.
Umat yang tidak punya pemimpin
dengan wafatnya Usman, membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru.
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah
pendahulunya, ia dibai’at di tengah-tengah kematian Usman, pertentangan,
kekacauan dan kebingungan umat Islam Madinah, sebab kaum pemberontak yang
membunuh Usman mendaulat Ali supaya bersedia dibaiat menjadi khalifah.
Dalam pidatonya khalifah Ali
menggambarkan dan memerintahkan agar umat islam:
a. Tetap
berpegang teguh kepada Al-Quran dan sunnah Rasul.
b. Taat dan
bertaqwa kepada Allah serta mengabdi kepada negara dan sesama manusia.
c. Saling
memelihara kehormatan di antara sesama muslim dan umat lain.
d. Terpanggil
untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum.
e. Taat serta
patuh kepada pemerintah.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu ‘Anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah.
Alasan mereka, Ali Radhiallahu ‘Anhu tidak mau menghukum para pembunuh Usman
Radhiallahu ‘Anhu , dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman Radhiallahu
‘Anhu yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘Anhu sebenarnya
ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair
Radhiallahu ‘Anhu Ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan
perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak.
Akhirnya, pertempuran yang dahsyat
pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), Zubair dan
Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu ‘Anha ditawan dan dikirim
kembali ke Madinah.
Dengan demikian masa pemerintahan
Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok yang
berpangkal dari pembunuhan Usman, namun Ali menyatakan ia berhasil memecat
sebagian besar gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada
setiap kesempatan yang memungkinkan. Ia membenahi dan menyusun arsip negara
untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor
sahib-ushsurtah serta mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.
Di ujung masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik,
yaitu Mu'awiyah, Syi'ah, dan al-Khawarij. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660
M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu
Abdullah bin Muljam.
KESIMPULAN
Mulai dari
masa Abu Bakar sampai kepada Ali Radhiallahu ‘Anhu dinamakan periode Khilafah
Rasyidah. Para khalifahnya disebut Al-Khulafaur Al-Rasyidun. Ciri masa ini
adalah para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui
proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah
periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara
turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin, tidak
pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan, Mereka selalu
bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain.
Pada
kesatuan politik khalifah adalah jabatan sekuler dan berfungsi eksekutif,
kedudukan khalifah hanya sebagai kepala pemerintahan dan masih mengikuti
tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, disamping ini lebih banyak
mengarahkan kebijaksanaan pada perluasaan kekuasaan politik atau perluasan
wilayah kekuasaan Negara, dinasti ini bersifat eksklusif karena lebih
mengutamakan orang-orang berdarah arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang
non-Arab tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang arab;
dan qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Di samping itu
Dinasti tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan. Formalitas agama
tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam.
Ciri lain dinasti ini kurang melaksanakan musyawarah. Karenanya kekuasaan
khalifah mulai bersifat absolute walaupun belum begitu menonjol.
Daftar
pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar