fatkhiyah

Senin, 12 Desember 2016

AKHLAK DAN POLITIK MASA KHULAFAUR RASYIDIN



AKHLAK DAN POLITIK MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr. H. Djasadi M.Pd

Disusun Oleh :
Fatkhiyah eka himawati          (1501036010)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015



I.                   PENDAHULUAN
Kehidupan bernegara dengan system pemerintahan secara Islami telah terwujudkan sejak masa Nabi. Tepatnya terhitung setelah peristiwa hijrah ke Madinah. Dimana tercipta suatu tatanan kahidupan bermasyarakat yang damai di tengah-tengah pluralitas suku, agama dan keyakinan.
Pemerintah politik masa Khulafaur Rasyidin di masa Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali sudah pasti berbeda setiap memegang ke pimpinannya, pada masa Khulafaur Rasyidin prinsip musyawarah, persamaan kebebasan berpendapat menjadi realisasi dari penerapan ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul. Pemahaman dan penafsiran terhadap pemerintahan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dengan Dinasti Ummayah dan sekarang memiliki perbedaan dan keterkaitan.



II.                RUMUSAN MASALAH
1.              Apa pengetian akhlak dan politik secara umum ?
2.              Apa niat dan tujuan berpolitik menurut Islam ?
3.              Bagaimana sistem politik yang berlaku pada masa khulafaur rasyidin?
















III.             PEMBAHASAN

1.    Akhlak politik dalam islam bermula dari niat dan tujuan memasuki kancah politik. Seorang yang ingin berkecimpung dalam dunia politik, baik sebagai legislatif, yudikatif, maupun eksekutif, harus mempunyai niat dan motivasi yang benar.
2.    Niat dan tujuan berpolitik menurut islam adalah:
a)        Menegakkan keadilan dan kebenaran
b)        Membela kepentingan rakyat
c)        Menyeru kebaikan (amar ma`ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar).
3.      Akhlak Politik Khulafaur Rasyidin
Khulafah Rasyidin merupakan para pemimpin umat Islam setelah Nabi Shallallahu `Alaihi wasallam wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Dimana sistem pemerintahan pada masa ke empat khalifah adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Quran dan As-Sunah.
Abu Bakar Ash-Shiddiq
Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah sebelum mengambil keputusan mengenai sesuatu yang berfungsi sebagai lembaga legislatif pemerintahannya. Adapun urusan pemerintahan diluar kota madinah, khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi, dan setiap propinsi aa menugaskan seorang amir atau wali (semacam jabatan gubernur).


Sebagai mana Abu Bakar, Umar bin khattab pun di bai’at dihadapan umat muslimin, bagian dari pidatonya adalah:
“Aku telah dipilih jadi khalifah kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat diantara kamu dan juga lebih mampu memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama seperti beliau, andaikata aku tahu ada orang yang lebih kuat daripada aku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini”.
Sebagai seorang negarawan yang patut diteladani, ia telah menggariskan:
a.       Persyaratan bagi calon negara.
b.      Menetapkan dasar-dasar pengelolaan negara.
c.       Mendorong para pejabat negara agar benar-benar meperhatikan kemaslahatan rakyat dan melindungi hak-haknya karena mereka adalah pengabdi rakyat dan bagian dari rakyat itu sendiri.
d.      Pejabat yang dipegang seseorang adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada tuhan dan rakyat.
e.       Mendidik rakyat supaya berani memberi nasihat dan kritik kepada pemerintah, pemerintah juga harus berani menerima kritik dari siapapun sekalipun menyakitkan karena pemerintah lahir dari rakyat dan untuk rakyat.
f.       Khalifah Umar telah meletakkan dasar-dasar pengadilan dalam Islam.
Ia selalu mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh ansar dan Muhajirin, dengan rakyat dan dengan para administrator pemerintahan untuk memecahkan masalah-masalah umum dan kenegaraan, ia tidak bertindak sewenang-wenang dan memutuskan suatu urusan tanpa mengikutsertakan warga umat.
Pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘Anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘Anhu segera mengatur administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.
Adapun kekuasaan eksekutif dipegang oleh Umar bin Khattab dalam kedudukannya sebagai kepala Negara, untuk menunjung kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas eksekutif, Umar melengkapinya dengan beberapa jawatan, diantaranya diwana al-kharaj (jawatan pajak), diwana al-ahdats (jawatan kepolisian), nazarat al-nafi’at (jawatan pekerjaan umum), diwana al-jund (jawatan militer), dan baitul al-mal (baitul mal).
Setelah Usman bin Affan dilantik menjadi khlifah ketiga negara Madinah, ia menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai dominan. Dalam pidato itu Usman mengingatkan beberapa hal yang penting:
a.       Agar umat Islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian.
b.      Agar umat Islam tidak terpedaya kemewahan hidup dunia yang penuh kepalsuan.
c.       Agar umat Islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu.
d.      Sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Quran dan sunnah rasul.
e.       Di samping meneruskan apa yang telah dilkukan pendahulunya juga akan membuat hal baru yang akan membawa kepada kebajikan.
f.       Umat Islam boleh mengkritiknya bila ia menyimpang dari ketentuan hukum.

Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan didaerah, Khalifah Usman mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi pada masanya kekuasaan wilayah Madina dibagi menjadi 10 propinsi. Sedangkan kekuasaan legislatif dipegang oleh dewan penasehat syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para sahabat terkemuka.
Umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Usman, membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya, ia dibai’at di tengah-tengah kematian Usman, pertentangan, kekacauan dan kebingungan umat Islam Madinah, sebab kaum pemberontak yang membunuh Usman mendaulat Ali supaya bersedia dibaiat menjadi khalifah.
Dalam pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat islam:
a.       Tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan sunnah Rasul.
b.      Taat dan bertaqwa kepada Allah serta mengabdi kepada negara dan sesama manusia.
c.       Saling memelihara kehormatan di antara sesama muslim dan umat lain.
d.      Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum.
e.       Taat serta patuh kepada pemerintah.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Radhiallahu ‘Anhu tidak mau menghukum para pembunuh Usman Radhiallahu ‘Anhu , dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman Radhiallahu ‘Anhu yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘Anhu sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair Radhiallahu ‘Anhu Ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak.
Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu ‘Anha ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Usman, namun Ali menyatakan ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan. Ia membenahi dan menyusun arsip negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah serta mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.
Di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah, dan al-Khawarij. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.















KESIMPULAN

Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali Radhiallahu ‘Anhu dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut Al-Khulafaur Al-Rasyidun. Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan, Mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain.
Pada kesatuan politik khalifah adalah jabatan sekuler dan berfungsi eksekutif, kedudukan khalifah hanya sebagai kepala pemerintahan dan masih mengikuti tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, disamping ini lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada perluasaan kekuasaan politik atau perluasan wilayah kekuasaan Negara, dinasti ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non-Arab tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang arab; dan qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Di samping itu Dinasti tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam. Ciri lain dinasti ini kurang melaksanakan musyawarah. Karenanya kekuasaan khalifah mulai bersifat absolute walaupun belum begitu menonjol.









Daftar pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar