HAK DAN KEWAJIBAN DALAM AKHLAK
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen
pengampu : Dr. H Djasadi M.pd
Disusun
oleh :
1. FATKHIYAH EKA HIMAWATI (1501036010)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari masalah yang berkaitan dengan
hak, kewajiban, dan keadilan. Hal ini menunjukan bahwa hak, kewajiban dan
keadilan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Namun
dalam aplikasinya yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia, terjadi
ketidak pahaman antara hak, kewajiban dan keadilan. Terkadang pula kita salah
mengartikannya sehingga terjadi ketidak harmonisan dalam kehidupan manusia. Dan
tak sedikit juga manusia yang sudah mengetahuinya, akan tetapi mereka enggan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun semuanya kembali kepada akhlak
seseorang. Untuk itu kita harus memahami makna dan hubungan antara hak,
kewajiban dan keadilan sehingga kita dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hak
dalam akhlak?
2.
Bagaimana
kewajiban dalam akhlak?
3.
Bagaimana keadilan
dalam akhlak?
4.
Bagaimana
hubungan hak, kewajiban, dan keadilan dalam akhlak?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hak dalam
Akhlak
1.
Pengertian Hak
Hak menurut bahasa adalah
menetapkan/ketetapan, keharusan, kenyataan, kekhususan bagi sesuatu/seseorang, ketentuan
dan kebenaran. Sedangkan menurut istilah:
1)
Kebenaran yang
mutlak, hakikat seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al- Baqarah: 147 yang berbunyi
ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ
Artinya: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu,
sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu.
2)
Kekhususan bagi
seseorang bukan bagi yang lainnya, sebagai lawan kewajiban yaitu sesuatu yang tidak sah bagi orang lain
untuk membantah atau menghalang- halanginya
atau melanggar sesuatu yang menjadi hak baginya. Dengan kata lain, hak adalah sesuatu yang menjadi hak
bagi seseorang, menjadi kewajiban bagi orang
lain untuk menghormatinya dengan tidak mengganggunya, tidak melanggarnya,
tidak menghalang-halanginya, tidak mengambil tanpa seizinnya dan sebagainya.[1]
Hak juga dapat
diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan,
memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak juga dapat
berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya,
perlawanan dengan kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang
ada pada pihak lain.
Didalam al-qur’an kita menjumpai juga kata al-haqq,
namun pengertiannya agak berbeda dengan pengertian hak yang dikemukakan diatas.
Jika pengertian hak diatas lebih mengacu kepada semacam hak memiliki, tetapi
al-haqq dalam al-qur’an bukan itu artinya. Kata memiliki yang merupakan
terjemahan dari kata hak tersebut diatas dalam bahasa al-qur’an disebut milik,
dan orang yang menguasainya disebut malik.
Dalam perkembangan
selanjutnya kata al-haqq dalam al-qur’an digunakan untuk empat pengertian.
Pertama, untuk menunjukan terhadap pelaku yang mengadakan sesuatu yang
mengandung hikmah, seperti adanya ALLAH disebut sebagai al-haqq karena Dialah yang
mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah dan nilai bagi kehidupan. Penggunaan
al-haqq dalam arti yang demikian dapat dijumpai pada Al-Qur’an surah Al-An’am:
62
ثُمَّ رُدُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ
مَوۡلَىٰهُمُ ٱلۡحَقِّۚ أَلَا لَهُ ٱلۡحُكۡمُ وَهُوَ أَسۡرَعُ ٱلۡحَٰسِبِينَ
Artinya: Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah,
penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu)
kepunyaan-Nya. Dan Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat.
Kedua, kata al-haqq
digunakan untuk menunjukan kepada sesuatu yang diadakan yang mengandung hikmah.
Misalnya Allah SWT. menjadikan matahari dan bulan dengan al-haqq, yakni
mengandung hikmah bagi kehidupan. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat
dijumpai pada Al-Qur’an surah Yunus: 5
هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلشَّمۡسَ ضِيَآءٗ وَٱلۡقَمَرَ نُورٗا
وَقَدَّرَهُۥ مَنَازِلَ لِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلۡحِسَابَۚ مَا خَلَقَ
ٱللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ يُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ
Artinya: Dialah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.
Ketiga, kata al-haqq
digunakan untuk menunjukan keyakinan (i’tiqad) terhadap sesuatu yang cocok
dengan jiwanya, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya kebangkitan di
akhirat, pahala, siksaan, surga dan neraka. Penggunaan kata al-haqq seperti ini
dapat dijumpai pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 213
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۧنَ
مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ
بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِۚ وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا
ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ بَغۡيَۢا
بَيۡنَهُمۡۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ
ٱلۡحَقِّ بِإِذۡنِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ
مُّسۡتَقِيمٍ
Artinya: Manusia
itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus
para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan
orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang
hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Keempat, kata
al-haqq digunakan untuk menunjukan terhadap perbuatan atau ucapan yang
dilakukan menurut kadar atau porsi yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan dan
waktu. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai pada surah
Al-Mu’minun: 71
وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ
وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّۚ بَلۡ أَتَيۡنَٰهُم
بِذِكۡرِهِمۡ فَهُمۡ عَن ذِكۡرِهِم مُّعۡرِضُونَ
Artinya: Andaikata
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada
mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu
Selain itu, al-haqq dapat berarti upaya mewujudkan keadilan,
argumentasi yang kuat, menegakkan syari’at secara sempurna, dan isyarat tentang
adanya hari kiamat. Dengan demikian, seluruh kata al-haqq yang terdapat dalam
al-qur’an tidak ada satupun yang mengandung arti hak milik, sebagaimana arti
hak yang umumnya lazim digunakan masyarakat.[2]
Selain itu, Poedjawijanata
juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hak ialah semacam milik, kepunyaan,
yang tidak hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan
hasil pikiran itu.[3]
2.
Macam-macam hak
Hak dipengaruhi oleh dua faktor
penting. Pertama, faktor yang merupakan hal (objek) yang di hakki
(dimiliki) yang selanjutnya disebut hak objektif. Hak ini bersifat fisik maupun
non fisik. Kedua, faktor orang (subjek) yang berhak, yang berwenang
untuk bertindak menurut sifat-sifat itu, yang selanjutnya disebut hak
subjektif.
Dalam kajian akhlak, tampaknya hak
subjektiflah yang lebih mendapatkan perhatian, yaitu wewenang untuk memiliki
dan bertindak. Disebut wewenang bukan kekuatan, karena mungkin saja wewenang
(hak) itu tak dapat dilaksanakan karena ada kekuatan lain yang menghalanginya.
Dilihat dari segi objek dan
hubungannya dengan akhlak, hak itu secara garis besar dapat dibagi menjadi
tujuh bagian, yaitu hak hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum, hak
mengembangkan keturunan (hak kawin), hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak
kebebasan berfikir dan hak mendapatkan kebenaran. Semua hak itu tidak dapat
diganggu gugat, karena merupakan hak asasi yang secara fitrah telah diberikan
Tuhan kepada manusia, karena yang dapat mencabut hak-hak tersebut hanya Tuhan.
Hak
manusia dalam sejarah dan masyarakat sering diperlakukan secara
diskriminatif. Terhadap kelompok yang satu diberikan kebebasan untuk menyatakan
pikiran dan melakukan usahanya dibidang materi, sedangkan pada kelompok yang
lainnya dibatasi dan tidak diberikan peluang untuk berusaha. Berkenaan dengan
ini maka pada tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan
pernyataan kedua tentang Hak-hak Asasi Manusia. Dalam penyataan tersebut
dikemukakan bahwa hak itu berdasarkan atas kemanusiaan, dan kemanusiaan itu
intinya bertumpu pada budi pekerti. Pernyataan hak asasi ini dapat dikatakan
merupakan kesadaran untuk manusia terhadap nilai kemanusiaannya. Dengan
demikian adanya pernyataan tersebut memiliki misi pelaksanaan ajaran moral dan
akhlak. Dan disinilah letak hubungan pembahasan masalah hak-hak manusia dengan
akhlak.[4]
Secara garis besar hak dibagi menjadi
dua bagian:
1)
Hak tabi’in,
yaitu hak manusia yang berlaku menurut fitrahnya, menurut asal kejadiannya
bahwa keadaan itu adalah menjadi hak manusia, seperti hak hidup dan hak
merdeka.
2)
Hak yang
diberikan oleh undang-undang/peraturan, yaitu hak yang dijamin berdasarkan
peraturan yang dibuat oleh manusia.[5]
B.
Kewajiban dalam
Akhlak
1.
Pengertian
Kewajiban
Oleh karena hak itu merupakan
wewenang, bukan berwujud kekuatan, maka perlu ada penegak hukum melindungi yang
lemah, yaitu orang yang tidak dapat melakukan haknya manakala berhadapan dengan
oranglain yang merintangi pelaksanaan haknya.
Selanjutnya karena hak merupakan
wewenang bukan kekuatan, maka ia merupakan tuntutan, dan terhadap orang lain
hak itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksananya
hak-hak orang lain. Dengan cara demikian orang lain pun berbuat yang sama pada
dirinya, dan dengan demikian akan terpeliharalah hak asasi manusia itu.
Dengan demikian, masalah kewajiban
memegang peranan penting dalam pelaksanaan hak. Namun perlu ditegaskan disini
bahwa kewajiban disinipun bukan merupakan keharusan fisik, tetapi tetap
berwajib, yaitu wajib yang berdasarkan kemanusiaan, karena hak yang merupakan
sebab timbulnya kewajiban itu juga berdasarkan kemanusiaan. Dengan demikian,
orang yang tidak memenuhi kewajibannya berarti telah memperkosa kemanusiaannya.
Sebaliknya orang yang melaksanakan kewajiban berarti telah melaksanakan sikap
kemanusiaannya.[6]
Kewajiban menurut ilmu akhlak, berarti
sesuatu yang diperintahkan oleh perasaan suci hati nurani untuk berbuat, sebab
menurut hati nurani dan undang-undang akhlak perbuatan itu adalah baik dan
benar.
Apabila kewajiban tidak ditunaikan,
akan mengakibatkan orang lain atau sesuatu yang lain yang mempunyai hak dari
pelaksanaan kewajiban tersebut tidak menerima haknya. Kewajiban lawan kata dari
hak.
Didalam kehidupan manusia sebagai
mahluk zoon politicon manusia tidak lepas dari rangkaian hak dan
kewajiban. Antara hak dan kewajiban selalu bertimbal balik. Suatu yang menjadi
hak bagi seseorang adalah menjadi kewajiban bagi yang lainnya untuk dilaksanakan,
sehingga memenuhi hak tersebut.
Didalam masyarakat, sering terlihat
manusia lebih terpengaruh oleh dorongan perasaan egoistis yang selalu
memperhatikan haknya sendiri, tetapi lupa kepada kewajibannya untuk tunaikan
yang menjadi hak orang lain. Didalam penyelidikan ethika, apabila kita semua
mendahulukan nenuntut hak dan menangguhkan kewajiban, maka akan berakibat tidak
ada yang memberikan hak tersebut kepadanya, sebab orang akan menuntut haknya
lebih dahulu sebelum melaksanakan kewajibannya, sehingga tidak ada yang
memberikan hak tersebut kepadanya. Akibat mendahulukan hak an menangguhkan
kewajiban, maka segala urusan akan menjadi terbengkalai dan macet.
Tetapi sebaliknya, apabila yang
berkewajiban tanpa menunggu haknya lebih dulu melaksanakan kewajibannya, maka
tanpa ditunggu yang berhak akan mendapatkan haknya, sebab hak tersebut sudah
diberikan oleh orang yang melaksanakan kewajiban itu.
Didalam ajaran islam, tidak ada suatu
perintahpun untuk menuntut hak lebih dulu, yang ada adalah perintah
melaksanakan kewajiban dan memberi hak kepada yang lain.
2.
Macam-macam
Kewajiban
Kewajiban-kewajiban manusia dalam
hidup ini diarahkan kepada yang wujud , yang garis besarnya terhadap:
1)
Khalik dalam
hubungan vertikal
2)
Mahluk dalam
hubungan horizontal
Macam-macam kewajiban manusia menurut
arahnya yaitu:
1)
Kewajiban
terhadap diri sendiri
kewajiban yang pertama dan utama bagi
manusia adalah mempercayai dengan keyakinan yang sesungguhnya bahwa “tiada
Tuhan selain Allah” . Dengan keyakinan bahwa Allah mempunyai segala
kesempurnaan. Keyakinan ini merupakan
kewajiban terhadap Allah dan sekaligus
kewajiban manusia terhadap diri sendiri untuk keselamatan dirinya.
2)
Kewajiban
terhadap Tuhan Khaliqul’aalam
Menurut hadist Nabi, yang diriwayatkan dari
sahabat Mu’adz bin jabal bahwa kewajiban manusia kepada Allah yaitu Mentauhidkan-Nya dan beribadat
kepada-Nya.
3)
Kewajiban terhadap
manusia lain dan alam semesta.[7]
C.
Keadilan dalam
Akhlak
1.
Pengertian
Keadilan
Sejalan dengan adanya hak
dan kewajiban tersebut diatas, maka timbul pula keadilan. Poedjawijatna
mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak (yang
sah). Sedangkan dalam literatur islam, keadilan dapat diartikan istilah yang
digunakan untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua
perkara. Keadilan ini terjadi berdasarkan keputusan akal yang dikonsultasikan dengan agama.
Mengingat hubungan hak, kewajiban dan
keadilan demikian erat, maka dimana ada hak, maka ada kewajiban, dan dimana ada
kewajiban, maka ada keadilan, yaitu menerapkan dan melaksanakan hak sesuai
dengan tempat, waktu dan kadarnya yang seimbang. Demikian pentingnya masalah
keadilan dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban ini, Allah berfirman dalam
Al-Qur’an surah An-Nahl: 90.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي
ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآء ِ وَٱلۡمُنكَرِ
وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
“sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan ALLAH
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (QS An-Nahl: 90)”.
Ayat tersebut menempatkan keadilan sejajar
dengan berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, melarang dari
berbuat yang keji dan mungkar serta menjauhi permusuhan. Ini menunjukan bahwa
masalah keadilan termasuk masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak
sebagai suatu kewajiban moral.[8]
2.
Macam-macam
Keadilan
1)
Adil yang
berhubungan dengan perorangan ialah tindakan memberikan hak kepada yang
mempunyai hak. Bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau
memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tindakan
adil.
2)
Adil yang
berhubungan kemasyarakatan dan pemerintah misalnya tindakan hakim yang
menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca
keadilan. Jika hakim menegakkan neraca keadilannya dengan lurus maka hakim itu
adil, dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia dhalim. Pemerintah
dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik
dikota maupun didesa.[9]
D.
Hubungan Hak,
Kewajiban dan Keadilan dalam Akhlak
Akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, mendarah daging, sebenarnya dan tulus
ikhlas karena Allah. Hubungan dengan hak dapat dilihat pada arti dari hak yaitu
sebagai milik yang dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang
menghalanginya. Hak yang demikian itu merupakan bagian dari akhlak, karena
akhlak harus dilakukan oleh seseorang sebagai haknya.
Akhlak yang
mendarah daging itu kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang
dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakan tanpa merasa berat. Sedangkan
keadilan sebagaimana telah diuraikan dalam teori pertengahan ternyata merupakan
induk akhlak. Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadilan, maka dengan
sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Disinilah letak
hubungan fungsional antara hak, kewajiban dan keadilan dengan akhlak.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hak yaitu wewenang atau
kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan,
mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak juga dapat berarti panggilan kepada
kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan dengan kekuasaan atau
kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.
Kewajiban menurut ilmu akhlak,
berarti sesuatu yang diperintahkan oleh perasaan suci hati nurani untuk
berbuat, sebab menurut hati nurani dan undang-undang akhlak perbuatan itu
adalah baik dan benar.
keadilan dapat diartikan
istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap
tengah-tengah atas dua perkara.
Hak, kewajiban dan keadilan
memiliki hubungan yang sangat erat dengan akhlak. Hubungan akhlak dengan hak
dapat dilihat pada arti hak yaitu sebagai milik yang dapat digunakan oleh
seseorang tanpa ada yang menghalanginya, karena akhlak harus dilakukan oleh
seseorang sebagai haknya. Akhlak yang mendarah daging itu kemudian menjadi
bagian dari kepribadian seseorang yang dengannya timbul kewajiban untuk
melaksanakan tanpa merasa berat. Sedangkan keadilan merupakan induk akhlak.
Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadilan, maka dengan sendirinya akan
mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Disinilah letak hubungan
fungsional antara hak, kewajiban dan keadilan dengan akhlak.
B.
Penutup
Demikian pemaparan tentang hak,
kewajiban dan keadilan dalam akhlak serta hubungannya. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena kami penyusun mohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Terimakasih.
[1] Rahmat
Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Pustaka
Panjimas 1996), hlm.118-119.
[2] Abudin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hlm. 118-119
[3] Abudin
Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 117.
[4] Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 120-121.
[5]
Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta :
Pustaka Panjimas 1996), hlm. 123-124.
[6] Abudin
Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 121-122.
[7] Rachmat
Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), hlm. 125
[8] Abudin
Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 122-123
[9] Hamzah
Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah (suatu pengantar),
(Bandung : CV.Diponegoro, 1985), cet.III, hlm. 105.
[10] Abudin
Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 123.
Makasih atas ilmu nya..
BalasHapus