SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS
PERIODE V
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen
pengampu : Drs. H.M Zain Yusuf,
M.M
Jurusan : Manajemen Dakwah (MD)
Oleh :
Fatkhiyah Eka Himawati 1501036010
Rifai 1501036023
Nurul
Khamidah 1501036025
Abdul
Sukur 1501036036
Alfiana
Zarofah 121311015
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setelah Rasulullah Saw Muhammad SAW wafat para sahabat belum
memikirkan akan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits, karena banyak
peroblem yang dihadapai para sahabat, diantaranya timbulnya kelompok orang yang
murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghafal al-Qur’an yang gugur dan
konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam pembukuan al-Qur’an. Demikian juga
kasus lain, kondisi orang-orang asing atau non Arab yang masuk Islam yang tidak
faham dalam bahasa Arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa
membedakan al-Qur’an dan Hadits. Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan
sunah tetapi digagalkan karena kekhawatiran terjadi fitnah ditangan orang-orang
yang tidak dapat dipercaya.
Baru
Pada abad ke-2 Hijrah hadits hanya dikumpulkan dan dibukukan tanpa memisakhan
hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, maka para ahli hadits pada abad
ke-3 Hijrah memperbaikinya dengan mengumpulkan dan memisahkan hadits dari
fatwa-fatwa itu.Para ulama hadits melakukan pemisahan antara hadits shahih dan hadits dha’if karena pada waktu itu mereka masih mencampuradukan antara
hadits shahih, hasan dan dha’if. Pada periode abad ke-3 H ini
tepatnya saat Dinasti Abbasiyah yang dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai
al-Mu’tadir ( sekitar 201-300H) dimulailah pemisahan hadist shahih dan hadits dha’ifnya.disamping itu pula mereka menetapkan kaidah-kaidah hadits,
ilat-ilat hadits, dan tafsir sejumlah perwi-perawi hadits.[1]
Maka
pada periode kelima ini kita akan
membahas tentang peisahan dan penyusunan hadits oleh para ulama pada abad ke-3
Hijriyah.
B. Rumusan
Masalah
Dari ulasan latar belakang diatas
kita akan membahas rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pentashihan hadits dan penyusunan kaidah-kaidah hadits?
2. Bagaimana
langkah-langkah memelihara hadits?
3. Siapa
saja tokoh-tokoh hadits periode kelima?
II.
PEMBAHASAN
A. Pentashihan
Hadits
Dalam
abad ke-3 Hiriyah usaha pembukuan hadist memuncak. Pada mulanya, ulama islam
mengumpulkan hadits yang terdapat dikota masing-masing. Hanya sebagian kecil
saja yang pergi keluar kota untuk mengumpulkan hadits seperti al-Bukhari.
Beliau membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadits yang tersebar diberbagai
daerah.Enam belas tahun lamanya beliau terus menerus menjelajah untuk
menyiapkan kitab shohihnya.
Pada mulanya ulama menerima hadits
dari perawi, lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak menetapkan
syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh
yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam
mengumpulkan hadits pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits yaitu
dengan menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudhu’.
Melihat kesungguhan musuh-musuh
Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits
bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni
keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadits-hadits
yang shahih dari yang dha’if yakni menshahihkan hadits.
Pembahasan mengenai diri pribadi
perawi menghasilkan ilmu Qawa’id at-Tahdits (kaidah-kaidah tahdits), ‘Illat-‘illat
hadits dan Tarjamah (riwayat) perawi-perawi hadits.
Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu
Dirayah (Ilmu Dirayah al-Hadits) yang banyak macamnya di samping Ilmu
Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadits).
Upaya pentashhihan dan penyaringan
hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if dengan
mempergunakan syarat-syarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul
dan ada’, melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan.
1.
Periode Dasar -dasar
Pentashihan Hadits
Untuk mentashihkan hadits,
dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang Tarikh Rijal al-hadits (sejarah perawi
hadits), tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah
dia bertemu dengan orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan
pengetahuan yang mendalam tentang parawi hadits sejak zaman shahaby
hingga zaman al-Bukhary (umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat
kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa
yang benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta,
siapa yang lalai.
Al-Bukhary mempunyai dua
keistemewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat yang jarang kita temukan
bandingannya, khususnya dalam bidang hadits.Kedua, keahlian dalam meneliti
keadaan perawi-perawi yang dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn
untuk menerangkan keadaan perawi-perawi hadits.al-Bukhary dalam menghadapi
perawi-perawi yang lemah dan tercela, mempergunakan kata-kata yang sopan
sekali.
Perawi-perawi yang menerima hadits
dari tokoh-tokoh hadits, seperti az-Zuhry, tentu tidak sama semuanya. Ada yang
erat dengan az-Zuhry, ada yang tidak.al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang
erat hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak erat hubungannya,
sama dengan menerima perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-orang
yang bukan tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal
saja perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.
Al-allamah muhammad zahijd
al-kutsary mengatakan bahwa diantara yang menarik perhatian adalah al-Bukhary
dan Muslim tidak menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal
al-Bukhary dan muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan
menerimah hadits dari mereka. Juga al-Bukhary dan muslim tidak mentakhrijkan
hadits imam Asy-Syafi’y padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian ashabnya.
Juga al-Bukhary tidak mentakhrijkan hadits-hadits ahmad selain dari dua hadits,
satu secara ta’liq, satu lagi secara nasil dengan perantaraan, padahal
al-Bukhary mendapati ahmad dan bergaul dengannya. Muslim tidak mentakhrijkan
dalam shahinya barang satu hadits dari hadits al-Bukhary, padahal muslim
bergaul dengannya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits
ahmad selain dari 30 hadits, ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari
malik dari nafi melalui jalan Asy-Syafi’y padahal sanad inni dipandang paling
sah, selain dari empat hadits.
2.
Periode Imam yang Mula-mula
Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih
Untuk menyaring hadits-hadits itu
serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq
Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha
memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
Pekerjaan yang mulia ini, kemudian
disempurnakan ole imam al-Bukhary.Al-Bukhry menyusun kitabnya yang terkenal
dengan nama al-Jami’ ash-shahih yang membukukan hadits-hadits yang
dianggap shahih saja.Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh
muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.Maka dengan jerih payah kedua
sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih.
Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih
Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua
pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (sunan
At-Tirmidzy) dan AnNasa’y (sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian
terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (al-Ushul
al-Khamsah).
Di samping itu Ibnu Majah berupaya
menyusun sebuah kitab sunan yakni Sunan Ibnu Majah. Kitab ini oleh
sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan kitab-kitab
induk itu enam buah banyaknya terkenal dengan namaal-Kutub as-Sittah. Di
bawah kitab yang enam ini ulama menempatkan Musnad al-Imam Ahmad.[2]
B. Langkah-Langkah
Pemeliharaan Hadits
1. Mengisnadkan
Hadits
Para sahabat sesudah Nabi saw.
Wafat, saling mempercayai.Para tabi’in dengan tidak tertugun-tegun menerima
hadits yang diriwayatkan kepadanya oleh seorang shahaby.Keadaan tersebut
berjalan sampai timbulnya fitnah yang digerakan oleh Abdullah Ibnu Saba,
seorang yahudi yang bermaksud jahat terhadap Islam.Dia menggerakan ummat untuk
menganut paham tasyayyu’ (paham memihak kepada Ali dan mempertahan kekhalifaan
di tangan Ali dan keturunannya).Mereka ada yang mengaku keturunan Ali.Sejak
itu, timbulnya penyisipan ke dalam hadits, penyisipan itu kian hari kian
bertambah.
Berkenaan dengan hal itu, mulailah
ulama baik dari kalangan sahabat, maupun tabi’in berhati-hati menerima riwayat
yang diberikan kepada mereka.Mereka mulai tidak lagi menerima hadits kecuali
yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-perawinya dan keadilan
mereka.Ibnu sirin berkata (menurut riwayat Muslim dalam muqaddimah shahihnya),
“para sahabat dan tabi’in tidak menanyakan tentang hal isnad.Namun, ketika
mulai terjadi fitnah, maka ketika menerima suatu hadits bertanya, siapa yang
memberikan hadits itu?sesudah diketahui sanad, diperiksalah apa sanad itu
terjadi dari Ahlus Sunnah. Kalau benar, diambillah hadits itu.Kalau perawi itu
dari golongan ahli bid’ah, ditolaklah hadits itu.”Keadaan ini mulai berlaku di
zaman sahabat kecil, yang meninggal sesudah terjadi fitnah.
Diriwayatkan Muslim dari Mujahid,
bahwa Busyair al-adawy datang kepada Ibnu Abbas, lalu menceritakan hadits
kepadanya.Ibnu Abbas tidak memperhatikan hadits-hadits yang di riwayatkan
itu.Maka Busyair bertanya, “apakah sebabnya anda tijdak mendengarkan
hadits-hadits yang saya riwayatkan?”Ibnu Abbas menjawab, “Dahulu, apabila
mendengar hadits, kami memperhatikannya dengan sebaik-baiknya.Ketika manusia
telah mengendarai binatang jinak dan liar, tidaklah kami menerima selain dari
yang kami ketahui.”Berkenaan dengan ini pula, ketika telah berkecamuknya
kedustaan para tabi’in memintakan isnad.
Abu Aliyah berkata, “kami mendengar
hadits-hadits dari seorang sahabat.Kami tidak senang kalau kami tidak
berpayah-payah datang kepada sahabat itu untuk mendengar hadits.”
2. Memeriksa
Benar tidaknya Hadist yang Diterima
Seseorang yang menerima hadits,
berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi’in dan imam-imam hadits.Dengan
inayah Allah SWT, banyak para sahabat yang hidup lama.Maka ketika timbul
kedustaan dalam hal hadits, seseorang yang menerima hadits pergi kepada para
sahabat untuk menanyakan hadist yang diterimanya.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah
Shahihnya dari Ibnu Abi Mulaikah:
كتبت الى ابن
عبا س ان يكتب لي كتا با و يخفي عني فقا ل : و لد نا صح ، انااختار له
الاموراختياراواخفي عنه؟ فقا ل: فد عا بقضا ء علي فجعل يكتب منه شيئا ويمر باالشيئ
فيقول : والله، ماقضى بهذاعلي الاان يكون قدضل.
“Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas
supaya beliau menulis untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan (yang tidak
baik) pada saya.Ibnu Abbas berkata, “Seorang anak yang jujur, saya akan memilih
untuknya beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak benar).Ibnu
Mulaikah berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang membawakan kepadanya kitab
hukum Ali.Lalu beliau menyalin beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila
didapatinya yang tidak benar, berkata, “demi Allah, Ali tidak menghukum begini,
terkecuali dia sesat.”
Untuk memenuhi maksud ini para
sahabat dan para tabi’in membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar
hadits-hadits dari orang terpercaya.
Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy
berkata, “saya berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk
mencari sebuah hadits.”
3. Mengkritik
Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun
Kedustaannya
Inilah sebuah usaha besar yang
dilaksanakan ulama untuk membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang tidak
dan yang kuat dari yang lemah.Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang
besar sekali.Mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan
hal-hal yang tersembunyi bagi umum dari keaadaan-keadaan para perawi-perawi
itu.Mereka dengan tidak segan–segan menerangkan cacat seorang perawi dan
memberitakannya kepada umum.
Pernah dikatakan orang kepada Yahya
Ibn Said al-Qaththan, “Apakah anda tidak takut pada hari kiamat mereka menjadi
seteru anda di hadapan Allah?” Yahya menjawab, “Saya lebih suka menjadi seteru
mereka daripada menjadi seteru Rasul saw. Rasul akan bertanya,” mengapa kamu
tidak membela sunnahku?”
Untuk ini ulama telah membuat undang-undang
atau kaidah umum untuk menetapkan orang-orang boleh diterima riwayatnya dan
yang tidak. Mereka juga menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama
sekali diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
atau Ilmu Mizan ar-Rijal.
4. Membuat
Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits
Ulama membagi hadits dalam beberapa derajat. Masing-masing
derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain.
Mereka membagi hadits menjadi shahih dan dha’if.Mereka membuat kaidah- kaidah
untuk mensahihkan suatu hadits dan untuk men-dha’if-kannya. Dengan perkataan
lain, mereka melahirkan ilmu mustalahul hadits, yaitu ilmu yang menetapkan
kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk
mengkritik, mengoreksi khabar dan riwayat.
Ringkasnya, ulama hadits menyusun qawaid (kaidah-kaidah)
tahdits dan ushulnya, syarat-syarat menerima riwayat dan menolaknya,
syarat-syarat shahih, dha’if.
5. Menetapkan
Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
Untuk menyaring hadits, menapis dan memisahkan hadits-hadits
yang sahih, hasan dan dha’if dari maudhu’, yang dipandang seburuk-buruk hadist
dha’if, mereka menetapkan dasar-dasar yang harus kita pegang dalam menentukan
hadits-hadits maudhu’ itu.
Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah
kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu’ yang sudah banyak tersebar dalam
masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu maksud kemuslihatan.[3]
Di samping itu muncul pula
kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas
hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama
al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu
Daud (275 H), al-Tirmidzi (279 H), al-Nasa’i (303 H), dan Ibn Majah (273 H).[4]
C. Tokoh-Tokoh
Hadits
Karya-karya
al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati
oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai
al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang
kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu
adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’
karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu
‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (225 H).[5]
kitab-kitab
itu kemudian dikenal dikalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul
Al-Khamsyah.Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas sebagai berikut:
1.
Al-Jami’ash
Shahih susunan Al-Bukhari.
2.
Al-Jami’ash Shahih susunan Muslim.
3.
As-Sunan susunan Abu Daud.
4.
As-Sunan susunan At-Turmudzi.
5.
As-Sunan susunan An-Nasa’i.
6.
As-Sunan susunan Ibn Majah.
Ada Pun
Bentuk penyusunan Kitab hadist pada Abad ke III Hijriyah adalah:
a.
Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist
sahih,sedangkan yang tidak shahih
tidak dimasukkan kedalamnya.Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu penyajian
berdasarkan bab masalah tertentu. Hadist yang dihimpun menyangkut masalah fiqh
,aqidah ,akhlak ,sejarah dan tafsir .Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
b.
Kitab Sunan. Didalam kitab ini dijumpai hadist yang sahih
dan juga hadit dhaif yang tidak terlalu lemah dan mungkar.Terhadap hadist dhaif
dijelaskan sebab kedhaifannya. Bentuk penyusunannya berbentuk Mushannaf dan
hadistnya terbatas hanya pada masalah fiqh .Contoh : Sunan Abu Dawud, Sunan at
Turmidzi, Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al Darimi.
c.
Kitab Musnad. Didalam kitab ini hadist disususn berdasrkan
nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasrkan nabi
kabilah seperti bani hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan nama sahabat
berdasrkan urutan waktu memeluk Islam,dan ada yang berdasarkan hijaiyah dll.
Contoh : Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu qasim Albaghawi, dan musnab ustman
ibn abi syaibah.[6]
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan
yang shahih dari yang dha’if dengan mempergunakan syarat-syarat
pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’,
melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan.
2. Untuk menyaring hadits-hadits itu
serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq
Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha
memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
3. Langkah-Langkah
Pemeliharaan Hadits
a. Mengisnadkan
Hadits
b. Memeriksa
Benar tidaknya Hadist yang Diterima
c. Mengkritik
Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun
Kedustaannya
d. Membuat
Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits
e. Menetapkan
Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
4. Karya-karya
al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati
oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai
al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang
kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu
adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’
karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya
Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (225 H).
B. Penutup
Demikianlah uraian yang dapat Penulis sampaikan dalam makalah
ini. Sebagai manusia biasa, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca
sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad dan Mudzakir, Ulumul
Hadis, Bandung: Pustaka Setia. 1998
Ash-Shiddieqy,
Muhammad Hasbi, Teungku.,Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang: Putaka Rizki Putra. 2009
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan
Bintang, 1995
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta:
Gaya Media Pratama. 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar