1.
Sejarah
Gerakan Wahhabi didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab pada abad
18. Gagasan utama Muhammad Ibn Abdul Wahhab adalah pada pemurnian Tauhid, oleh
karenanya kelompok ini menamanakan dirinya sebagai ahli Tauhid atau Muwahhidun.
Sebutan Wahhabi adalah nama yang diberikan kepada kaum itu oleh lawan-lawannya,
karena pimpinannya bernama Muhammad Ibn Abdul Wahhab.
Muhammad Ibn Abdul Wahhab lahir di Uyainah, Nejd, Arabia Tengah
tahun 1115 H / 1703 M. Ayahnya , Abdul Wahhab adalah seorang hakim dikota
kelahirannya, dan mengajar fiqih dan hadits di masjid di kota tersebut.
Kakeknya, Sulaiman adalah seorang Mufti di Nejd. Muhammad Ibn Abdul Wahhab
mulai belajar agama dari ayahnya sendiri dengan membaca dan menghafal
Al-Qur’an, disamping belajar kitab-kitab agama aliran Hambali.[1]
Salah satu tempat belajarnya ialah kota Madinah, pada syaikh
Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad al-Khayyat as-Sindi. Ia banyak mengadakan
perlawatan dan sering berpindah-pindah dari satu neger i ke negeri yang lain.
Empat tahun di Basrah, lima tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdestan, dua
tahun di Hamadan, kemudian pergi ke Isfahan. Kemudian pergi ke Qumm dan Kairo,
sebagai penganjur aliran Ahmad bin Hambal.
Setelah beberapa tahun mengadakan perlawatan, ia kemudian pulang ke
negeri kelahirannya, dan selama beberapa bulan ia merenung dan mengadakan
orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya. Meskipun tidak sedikit
orang yang menentangnya, antaralain dari keluarga sendiri, namun dia mendapat
pengikut yang banyak, bahkan banyak diantaranya dari luar Uyainah.
Karena ajaran-ajarannya telah menimbulkan keributan-keributan
dinegerinya, dia diusir oleh penguasa setempat, kemudian dia bersama
keluarganya pindah ke Dar’iyah, sebuah dusun tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud,
penguasa Dar’iyah pada pada waktu itu yang telah memeluk ajaran Wahhabi dan
yang juga mengawini anaknya, bahkan menjadi pelindung dan penyiar ajaran
Wahhabi. [2]
Gerakan Wahhabi pertama kali bergerak dalam bidang keagamaan.
Namun, setelah adanya kesepakatan antara Muhammad Ibn Abdul Wahhab dengan
Muhammad Ibn Sa’ud pada tahun 1744, maka gerakannya berubah menjadi gerakan
politik, tanpa meninggalkan missi asalnya, yakni dakwah pemurnian Islam.[3]
Ajaran yang ditekankan dalam gerakan Wahhabi yang membedakan dengan
ajaran dalam gerakan Islam yang lain meliputi masalah Tauhid, Tawassul, Ziarah
Kubur, Takfir, Bid’ah, Khurafat, Ijtihad dan Taqlid.
Tauhid yakni meng-Esakan Allah yang tiada sekutu bagi Nya. Tauhid
ditentukan dalam tiga bentuk:
1.
Tauhid
Al-Rubbubiyah : penegasan ke-Esaan Allah SWT dan tindakan-Nya: Tuhan sendiri
adalah Pencipta, Penyedia, Penentu alam semesta.[4] Tauhid
al-Rubbubiyah ialah keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang Mandiri dalam
menciptakan makhluk-Nya, mandiri pula dalam memberi rizki, mengatur semua
makhluk, menciptakan makhluk-Nya yang khusus, yakni para Nabi dan Rasul yang
dilengkapi dengan akidah yang benar, akhlak mulia, ilmu yang bermanfaat, dan
perbuatan yang baik.[5]
2.
Tauhid al-asma
wa al-sifat : ke-Esaan nama dan sifat-sifat Nya, yang berhubungan dengan
sifat-sifat Allah SWT.[6]
Tauhid al-asma wa al-sifat yaitu keyakinan akan kemandirian Allah dengan
kesempurnaan yang mutlak, tiada sekutu bagi-Nya dari segi manapun. Ke-Esaan
Allah itu diketahui melalui ketetapan dari Allah sendiri melalui kitab Nya dan
rasul Nya.[7]
3.
Tauhid
al-Ilahiyyah : bahwa hanya Allah Swt yang berhak disembah. Penegasan “Tiada
Tuhan selain Allah Swt. dan Muhammad Saw sebagai utusan-Nya” berarti bahwa
semua bentuk ibadah dipersembahkan semata kepada Allah Swt, Muhammad Saw tidak
untuk disembah, tetapi sebagai nabi, dia seharusnya dipatuhi dan diikuti.[8]
Tauhid al-Ilahiyyah ialah Tauhid ibadah, yakni pengetahuan dan pengakuan bahwa
Allah yang memiliki ke Ilahian. Ibadah dan kebaktian hanya untuk Nya semata.
Tidak sah ibadah seseorang bila tidak ditunjukan dengan keikhlasan kepada Nya.[9]
Ajaran
Tauhid yang dibangun oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab itu yang semula hanya di
Nejd, Arabia Tengah dengan Dar’iyah sebagai pusatnya, menyebar keseluruh
Jazirah Arabia, kemudian ke luar Arabia, seperti ke Mesir, Afrika, India,
bahkan sampai juga ke Indonesia yang mempengaruhi Perang Padri di Sumatra Barat
pada abad ke-19. Ajaran tersebut dibawa oleh para jama’ah haji yang datang ke
Mekkah, mereka menyebarkan ajaran itu setelah berkenalan dengan ajaran tauhid
tersebut di Mekkah.[10]
Wahhabi
menolak keras adanya Tawassul. Menurut pendapatnya, ibadah harus merujuk ucapan
dan tindakan secara lahir dan batin yang dikendaki dan diperintahkan Allah Swt.
bahwa meminta perlindungan kepada pohon, batu, dan semacamnya adalah syirik.
Perantara oleh pihak lain tidak dilakukan kecuali seizin Allah Swt. atas orang
yang diminta menjadi perantara, seseorang yang benar-benar mengetahui Allah
Swt. Kebiasaan mencari perantara dari kebiasaan orang suci (wali) yang telah
meninggal adalah dilarang, seperti halnya kesetiaan yang berlebihan tatkala
mengunjungi makamnya.[11]
Berziarah
kubur bagi kaum Wahhabi dibolehkan menurut Islam bahkan disunnatkan oleh Nabi
Saw. Tetapi bila ziarah kubur dijadikan sebagai penghubung kearah syirik,
seperti menyiram dengan air yang dicampur sesuatu diatas makam seseorang,
berhubungan dengan Allah lewat ahli kubur, sholat diatasnya, memperindah
bangunan dan menghiasnya secara berlebihan yang tiada masuk dalam ibadah, maka
hal tersebut dilarang.[12]
Awalnya, Muhammad Ibn Abdul al-Wahhab membolehkan berkunjung ke kuburan, dengan
syarat dilakukan sesuai ajaran islam yang sebenarnya, dan ini termasuk tindakan
kebajikan serta patut dipuji. Akan tetapi, Wahhabi percaya bahwa banyak orang
telah mengubah doa bagi yang dikubur, menjadi memanjatkan doa kepada yang
dikubur. Kuburan telah berubah menjadi tempat orang berkumpul untuk menyembah.
Pemujaan yang berlebihan terhadap jasad mereka yang memiliki reputasi swbagi
wali, merupakan langkah pertama yang akan membawa orang untuk kembali menyembah
berhala seperti pada masa Jahiliyah. Untuk menghindari perbuatan syirik seperti
ini, menurut Wahhabi, seluruh makam yang disucikan itu harus dihancurkan. Kaum
Wahhabi berpendapat, kuburan harus diratakan dengan tanah, dan bahwa
tulisan-tulisan, prasati, serta hiasan-hiasan, ataupun penerangan dikuburan
tersebut harus dihilangkan. Kaum Wahhabi juga percaya bahwa mengaku sebagai
muslim saja tidak cukup menjadi benteng agar terhindar dari syirik. Seseorang
yang telah mengucapkan Syahadat, tetapi masih tetap mempraktikan syirik
(seperti yang didefinisikan oleh kaum Wahhabi) dianggap Kafir dan harus
dibunuh.
Menurut
kaum Wahhabi, Bid’ah adalah setiap ajaran atau tindakan yang tidak didasarkan
pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, atau otoritas para sahabat Nabi. Muhammad Ibn
Abdul Wahhab menyalahkan semua bentuk bid’ah dan menolak pendapat yang mengatakan
, bid’ah bisa jadi baik atau patut dipuji (bid’ah hasanah). Dia mengutip
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk mendukung pandangannya. Wahhabi memandang
sebagai bid’ah tindakan-tindakan seperti Kelahiran Nabi, meminta perantara para
wali (Tawassul), membaca Al-Fatihah atas nama pendiri tarekat sufi sesudah
menunaikan sholat lima waktu, dan mengulangi sholat lima waktu sesudah sholat
jum’at pada bulan Ramadhan.
Konflik
antara Ijtihad dan taqlid menjadi perhatian kaum Wahhabi. Menurut pendapatnya
dan pengikut-pengikutnya, Allah memerintahkan orang untuk hanya mematuhi-Nya
dan mengikuti ajaran Nabi. Tuntutan Wahhabi untuk mengikuti sepenuhnya
Al-Qur’an dan Sunnah bagi semua muslim adalah juga sebagai penolakan Wahhabi
terhadap semua penafsiran imam mazhab empat, termasuk pandangan mazhab Wahhabi
sendiri, yaitu mazhab Hambali, yang dipandang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi.
Wahhabi
menolak pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Meskipun
Wahhabi mengikuti mazhab Hambali, mereka tidak menerima pandangan-pandangannya
sebagai jawaban yang final. Apabila terdapat penafsiran mazhab Hambali yang
terbukti salah, pendapat itu harus ditinggalkan. Untuk mendukung pendapatnya
mazhab, kaum Wahhabi mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukan bahwa
Al-Qur’an dan Hadits sebagai satu-satunya dasar penetapan hukum Islam. [13]
Selain
itu, Muhammad bin Abdul Wahhab merasa bahwa khurafat-khurafat yang menimpa kaum
muslimin di negerinya, bukan saja terbatas pada pemujaan kuburan-kuburan,
sebagai tempat orang-orang saleh, dan memberikan nazar karenanya, tetapi juga
menjalar pada pemujaan benda-benda mati. Sebagian anak negeri tempat
kelahirannya, yaitu Yamamah dan Riyadh sekarang, memuja sebuah pohon kurma,
karena dianggap oleh mereka dapat memberikan jodoh. Perbuatan tersebut
dipandang olehnya sebagai suatu macam perbuatan syirik.
Tindakan
yang pertama kali dilakukan ialah memotong pohon kurma yang dianggap keramat.
Kemudian setiap kali kaum Wahhabi memasuki sebuah kota atau desa mereka
membongkar kuburan dan meratakannya dengan tanah, bahkan masjid-masjidpun turut
terbongkar, sehingga penulis-penulis Eropa menyebutkan mereka sebagai
“pembongkar tempat-tempat ibadat” (huddamul ma’abid).
Tindakan
mereka tidak hanya terbatas pada pembongkaran kuburan wali-wali atau
orang-orang saleh biasa. Ketika mereka dapat menguasai Mekkah, banyak
tempat-tempat bersejarah yang dimusnahkan, seperti tempat kelahiran Nabi
Muhammad Saw, Abu Bakar r.a, dan Ali r.a. Ketika mereka sampai di Madinah,
kuburan sahabat-sahabat Nabi di Baqi’ diratakan dengan tanah dan cukup diberi
tanda-tanda. Kubur Nabi Saw pun hampir mengalami nasib yang sama kalau
sekiranya mereka tidak takut akan kemarahan umat Islam didunia. Terhadap kubur
Nabi saw mereka cukup menghilangkan hiasan-hiasan yang ada padanya dan melarang
penggantian selubungnya yang baru. [14]
[1] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Surabaya : Anika Bahagia
2010), hlm 155-156.
[2] Sahilun
A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,
(Jakarta : Raja Grafindo 2012), hlm. 228-229.
[3] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 155-156
[4] Sahilun
A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,
hlm. 289.
[5] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 157.
[6] Sahilun
A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,
hlm. 289
[7] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 157.
[8] Sahilun
A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,
hlm. 289
[9] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 157.
[10] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 158-159
[11] Sahilun
A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,
hlm. 290
[12] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 158
[13] Sahilun
A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,
hlm. 290
[14] A.
Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna 1987),
hlm. 151-152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar