fatkhiyah

Senin, 12 Desember 2016

Gerakan Wahhabi



1.      Sejarah
Gerakan Wahhabi didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab pada abad 18. Gagasan utama Muhammad Ibn Abdul Wahhab adalah pada pemurnian Tauhid, oleh karenanya kelompok ini menamanakan dirinya sebagai ahli Tauhid atau Muwahhidun. Sebutan Wahhabi adalah nama yang diberikan kepada kaum itu oleh lawan-lawannya, karena pimpinannya bernama Muhammad Ibn Abdul Wahhab.
Muhammad Ibn Abdul Wahhab lahir di Uyainah, Nejd, Arabia Tengah tahun 1115 H / 1703 M. Ayahnya , Abdul Wahhab adalah seorang hakim dikota kelahirannya, dan mengajar fiqih dan hadits di masjid di kota tersebut. Kakeknya, Sulaiman adalah seorang Mufti di Nejd. Muhammad Ibn Abdul Wahhab mulai belajar agama dari ayahnya sendiri dengan membaca dan menghafal Al-Qur’an, disamping belajar kitab-kitab agama aliran Hambali.[1]
Salah satu tempat belajarnya ialah kota Madinah, pada syaikh Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad al-Khayyat as-Sindi. Ia banyak mengadakan perlawatan dan sering berpindah-pindah dari satu neger i ke negeri yang lain. Empat tahun di Basrah, lima tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdestan, dua tahun di Hamadan, kemudian pergi ke Isfahan. Kemudian pergi ke Qumm dan Kairo, sebagai penganjur aliran Ahmad bin Hambal.
Setelah beberapa tahun mengadakan perlawatan, ia kemudian pulang ke negeri kelahirannya, dan selama beberapa bulan ia merenung dan mengadakan orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya. Meskipun tidak sedikit orang yang menentangnya, antaralain dari keluarga sendiri, namun dia mendapat pengikut yang banyak, bahkan banyak diantaranya dari luar Uyainah.
Karena ajaran-ajarannya telah menimbulkan keributan-keributan dinegerinya, dia diusir oleh penguasa setempat, kemudian dia bersama keluarganya pindah ke Dar’iyah, sebuah dusun tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud, penguasa Dar’iyah pada pada waktu itu yang telah memeluk ajaran Wahhabi dan yang juga mengawini anaknya, bahkan menjadi pelindung dan penyiar ajaran Wahhabi. [2]
Gerakan Wahhabi pertama kali bergerak dalam bidang keagamaan. Namun, setelah adanya kesepakatan antara Muhammad Ibn Abdul Wahhab dengan Muhammad Ibn Sa’ud pada tahun 1744, maka gerakannya berubah menjadi gerakan politik, tanpa meninggalkan missi asalnya, yakni dakwah pemurnian Islam.[3]
Ajaran yang ditekankan dalam gerakan Wahhabi yang membedakan dengan ajaran dalam gerakan Islam yang lain meliputi masalah Tauhid, Tawassul, Ziarah Kubur, Takfir, Bid’ah, Khurafat, Ijtihad dan Taqlid.
Tauhid yakni meng-Esakan Allah yang tiada sekutu bagi Nya. Tauhid ditentukan dalam tiga bentuk:
1.        Tauhid Al-Rubbubiyah : penegasan ke-Esaan Allah SWT dan tindakan-Nya: Tuhan sendiri adalah Pencipta, Penyedia, Penentu alam semesta.[4] Tauhid al-Rubbubiyah ialah keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang Mandiri dalam menciptakan makhluk-Nya, mandiri pula dalam memberi rizki, mengatur semua makhluk, menciptakan makhluk-Nya yang khusus, yakni para Nabi dan Rasul yang dilengkapi dengan akidah yang benar, akhlak mulia, ilmu yang bermanfaat, dan perbuatan yang baik.[5]
2.        Tauhid al-asma wa al-sifat : ke-Esaan nama dan sifat-sifat Nya, yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah SWT.[6] Tauhid al-asma wa al-sifat yaitu keyakinan akan kemandirian Allah dengan kesempurnaan yang mutlak, tiada sekutu bagi-Nya dari segi manapun. Ke-Esaan Allah itu diketahui melalui ketetapan dari Allah sendiri melalui kitab Nya dan rasul Nya.[7]
3.        Tauhid al-Ilahiyyah : bahwa hanya Allah Swt yang berhak disembah. Penegasan “Tiada Tuhan selain Allah Swt. dan Muhammad Saw sebagai utusan-Nya” berarti bahwa semua bentuk ibadah dipersembahkan semata kepada Allah Swt, Muhammad Saw tidak untuk disembah, tetapi sebagai nabi, dia seharusnya dipatuhi dan diikuti.[8] Tauhid al-Ilahiyyah ialah Tauhid ibadah, yakni pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah yang memiliki ke Ilahian. Ibadah dan kebaktian hanya untuk Nya semata. Tidak sah ibadah seseorang bila tidak ditunjukan dengan keikhlasan kepada Nya.[9]
Ajaran Tauhid yang dibangun oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab itu yang semula hanya di Nejd, Arabia Tengah dengan Dar’iyah sebagai pusatnya, menyebar keseluruh Jazirah Arabia, kemudian ke luar Arabia, seperti ke Mesir, Afrika, India, bahkan sampai juga ke Indonesia yang mempengaruhi Perang Padri di Sumatra Barat pada abad ke-19. Ajaran tersebut dibawa oleh para jama’ah haji yang datang ke Mekkah, mereka menyebarkan ajaran itu setelah berkenalan dengan ajaran tauhid tersebut di Mekkah.[10]
Wahhabi menolak keras adanya Tawassul. Menurut pendapatnya, ibadah harus merujuk ucapan dan tindakan secara lahir dan batin yang dikendaki dan diperintahkan Allah Swt. bahwa meminta perlindungan kepada pohon, batu, dan semacamnya adalah syirik. Perantara oleh pihak lain tidak dilakukan kecuali seizin Allah Swt. atas orang yang diminta menjadi perantara, seseorang yang benar-benar mengetahui Allah Swt. Kebiasaan mencari perantara dari kebiasaan orang suci (wali) yang telah meninggal adalah dilarang, seperti halnya kesetiaan yang berlebihan tatkala mengunjungi makamnya.[11]
Berziarah kubur bagi kaum Wahhabi dibolehkan menurut Islam bahkan disunnatkan oleh Nabi Saw. Tetapi bila ziarah kubur dijadikan sebagai penghubung kearah syirik, seperti menyiram dengan air yang dicampur sesuatu diatas makam seseorang, berhubungan dengan Allah lewat ahli kubur, sholat diatasnya, memperindah bangunan dan menghiasnya secara berlebihan yang tiada masuk dalam ibadah, maka hal tersebut dilarang.[12] Awalnya, Muhammad Ibn Abdul al-Wahhab membolehkan berkunjung ke kuburan, dengan syarat dilakukan sesuai ajaran islam yang sebenarnya, dan ini termasuk tindakan kebajikan serta patut dipuji. Akan tetapi, Wahhabi percaya bahwa banyak orang telah mengubah doa bagi yang dikubur, menjadi memanjatkan doa kepada yang dikubur. Kuburan telah berubah menjadi tempat orang berkumpul untuk menyembah. Pemujaan yang berlebihan terhadap jasad mereka yang memiliki reputasi swbagi wali, merupakan langkah pertama yang akan membawa orang untuk kembali menyembah berhala seperti pada masa Jahiliyah. Untuk menghindari perbuatan syirik seperti ini, menurut Wahhabi, seluruh makam yang disucikan itu harus dihancurkan. Kaum Wahhabi berpendapat, kuburan harus diratakan dengan tanah, dan bahwa tulisan-tulisan, prasati, serta hiasan-hiasan, ataupun penerangan dikuburan tersebut harus dihilangkan. Kaum Wahhabi juga percaya bahwa mengaku sebagai muslim saja tidak cukup menjadi benteng agar terhindar dari syirik. Seseorang yang telah mengucapkan Syahadat, tetapi masih tetap mempraktikan syirik (seperti yang didefinisikan oleh kaum Wahhabi) dianggap Kafir dan harus dibunuh. 
Menurut kaum Wahhabi, Bid’ah adalah setiap ajaran atau tindakan yang tidak didasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, atau otoritas para sahabat Nabi. Muhammad Ibn Abdul Wahhab menyalahkan semua bentuk bid’ah dan menolak pendapat yang mengatakan , bid’ah bisa jadi baik atau patut dipuji (bid’ah hasanah). Dia mengutip Al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk mendukung pandangannya. Wahhabi memandang sebagai bid’ah tindakan-tindakan seperti Kelahiran Nabi, meminta perantara para wali (Tawassul), membaca Al-Fatihah atas nama pendiri tarekat sufi sesudah menunaikan sholat lima waktu, dan mengulangi sholat lima waktu sesudah sholat jum’at pada bulan Ramadhan.
Konflik antara Ijtihad dan taqlid menjadi perhatian kaum Wahhabi. Menurut pendapatnya dan pengikut-pengikutnya, Allah memerintahkan orang untuk hanya mematuhi-Nya dan mengikuti ajaran Nabi. Tuntutan Wahhabi untuk mengikuti sepenuhnya Al-Qur’an dan Sunnah bagi semua muslim adalah juga sebagai penolakan Wahhabi terhadap semua penafsiran imam mazhab empat, termasuk pandangan mazhab Wahhabi sendiri, yaitu mazhab Hambali, yang dipandang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Wahhabi menolak pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Meskipun Wahhabi mengikuti mazhab Hambali, mereka tidak menerima pandangan-pandangannya sebagai jawaban yang final. Apabila terdapat penafsiran mazhab Hambali yang terbukti salah, pendapat itu harus ditinggalkan. Untuk mendukung pendapatnya mazhab, kaum Wahhabi mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukan bahwa Al-Qur’an dan Hadits sebagai satu-satunya dasar penetapan hukum Islam. [13]
Selain itu, Muhammad bin Abdul Wahhab merasa bahwa khurafat-khurafat yang menimpa kaum muslimin di negerinya, bukan saja terbatas pada pemujaan kuburan-kuburan, sebagai tempat orang-orang saleh, dan memberikan nazar karenanya, tetapi juga menjalar pada pemujaan benda-benda mati. Sebagian anak negeri tempat kelahirannya, yaitu Yamamah dan Riyadh sekarang, memuja sebuah pohon kurma, karena dianggap oleh mereka dapat memberikan jodoh. Perbuatan tersebut dipandang olehnya sebagai suatu macam perbuatan syirik.
Tindakan yang pertama kali dilakukan ialah memotong pohon kurma yang dianggap keramat. Kemudian setiap kali kaum Wahhabi memasuki sebuah kota atau desa mereka membongkar kuburan dan meratakannya dengan tanah, bahkan masjid-masjidpun turut terbongkar, sehingga penulis-penulis Eropa menyebutkan mereka sebagai “pembongkar tempat-tempat ibadat” (huddamul ma’abid).
Tindakan mereka tidak hanya terbatas pada pembongkaran kuburan wali-wali atau orang-orang saleh biasa. Ketika mereka dapat menguasai Mekkah, banyak tempat-tempat bersejarah yang dimusnahkan, seperti tempat kelahiran Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar r.a, dan Ali r.a. Ketika mereka sampai di Madinah, kuburan sahabat-sahabat Nabi di Baqi’ diratakan dengan tanah dan cukup diberi tanda-tanda. Kubur Nabi Saw pun hampir mengalami nasib yang sama kalau sekiranya mereka tidak takut akan kemarahan umat Islam didunia. Terhadap kubur Nabi saw mereka cukup menghilangkan hiasan-hiasan yang ada padanya dan melarang penggantian selubungnya yang baru. [14]


[1] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Surabaya : Anika Bahagia 2010), hlm 155-156.
[2] Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, (Jakarta : Raja Grafindo 2012), hlm. 228-229.
[3] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 155-156
[4] Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, hlm. 289.
[5] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 157.
[6] Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, hlm. 289
[7] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 157.
[8] Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, hlm. 289
[9] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 157.
[10] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 158-159
[11] Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, hlm. 290
[12] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hlm. 158
[13] Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, hlm. 290
[14] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna 1987), hlm. 151-152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar