fatkhiyah

Senin, 12 Desember 2016

Maqamat, Hal, Mahabbah, Dan Ma’rifat Dalam Tasawuf



MAQAMAT, HAL, MAHABBAH, dan MA’RIFAT
DALAM TASAWUF

MAKALAH
Disusun Guna MemenuhiTugas
Mata Kuliah :  Akhlak Tasawuf
DosenPengampu : Dr . H.Djasadi, M. P.d.
 




Disusun Oleh :


Fatkhiyah Eka Himawati                (1501036010)
Saefuddin Anwar                           (1501036019)
Fatimatuz Zahro’ul Batul               (1501036020)



FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2015

BAB I
PENDAHULUAN
           
      A.    Latar Balakang Masalah

Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal(keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam(tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak bisa dipisahkan. Keduanya ibarat satu sisi dalam satu mata uang. Keter kaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.




       I.            RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Maqamat, Hal dan Tingkatannya?
B.     Apa Pengertian dan Tujuan Mahabbah?
C.     Apa saja alat untuk mencapai mahabbah?
D.    Apa Pengertian dan tujuan Ma’rifat?
E.     Apa saja alat untuk mencapai Ma’rifat?





















BAB II
PEMBAHASAN

 A.PENGERTIAN MAQAMAT,  HAL dan TINGKATANNYA
1.      MAQAMAT
     
            Maqamat bentuk jamak dari maqam yang artinya adalah tahapan, tingkatan, atau kedudukan sedangkan menurut istilah adalah upaya sadar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui tahapan-tahapan untuk mencapai makrifatullah.
            Maqam merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan menuju Allah dan akan berhenti pada saat tertentu. Orang yang menempuh jalan kebenaran (salik) berjuang hingga Allah memudahkan baginya menumpuh jalan menuju tingkatan kedua. Misalnya dari tingkatan tobat menuju tingkatan wara’, dari tingkatan wara’ menuju tingkatan zuhud. Demikian seterusnya hingga mencapai tingkatan mahabbah dan ridha.[1]
                                 Menurut Abu Bakar al-kalbi dalam bukunya, at-Ta’aruf li Mazhabi ahli Tasawwuf, maqam yang harus dilalui oleh seorang salik adalah taubat, zuhud, sabar, faqr, rendah hati, takwa, tawakal, kerelaan, mahabbah, dan makrifat.
Adapun Abu Hasan al-Qusyairi membaginya menjadi tobat, wara’, zuhud, tawakal, sabar, dan ridha.Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan maksud dari beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi.[2]
1.      Taubat
Taubat dalam bahasa arab yang berarti “kembali”, sedangkan taubat bagi kalangan sufi memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam alqur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Yaitu firman Allah (Q.S An-Nur:31)
 الى الله جميعا ايها المؤمنون لعلكم تف                                         وتوبوا
Artinya:... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada allah, Hai oramg-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(Q.S An-Nur:31)

2.      Wara’
Secara harfiah wara’ artinya soleh, secara istilah wara’ adalah menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjahui hal-hal yang tidak baik dan subhat. Adapun menurut para sufi, wara’ menghindari segala yang diragukan antara halal dan haram. Ini sejalan dengan (H.R. Bukhori), “Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia terbebas dari yang haram.[3]
3.      Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersiat keduniawian. Secara istilah zuhud adalah suatu kehidupan yang mengutamakan akhirat dari pada dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan dan sangat merindukan kesenangan hidup di alam akhirat yang kekal serta abadi.
4.      Faqr
Menurut kaum sufi faqr adalah orang yang memiliki ketulusikhlasan dalam berbuat dan bertanggung jawab serta tidak meminta lebih daripada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan memohon rezeqi, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
5.      Sabar
Dalam kalangan sufi sabar diartikan sebagai sabar dalam menjakankan perintah-perintah Allah, dan menerima segala cobaan yang ditimpanya.
Al-Qur’an dan hadis mengibaratkan orang-orang sabar dengan berbagai gambaran indah. Sabar dibagi menjadi dua bagian, yaitu sabar atas apa yang diperintahkan Allah SWT, dan sabar atas apa yang di larang-Nya. Adapun sabar atas apa yang tidak diupayakan seorang hamba adalah sabar dalam menjalankan hukum Allah SWT yang menimbulkan kesukaran baginya.
6.      Ridho
Secara harfiah ridho adalah suka, Harun Nasution mngatakan ridho, tidak menentang qada dan qadar Allah. Manusia biasanya suka menerima keadaan yang menimpa seperti miskin, kerugian, kehilangan.Disini maqamat dalam sikap ridho melatih diri kita untuk menerima keadaan kita bagaimanapun itu. Sebagaimana hadis qudsi, Nabi menegaskan. “Sungguh Aku ini Allah tiada tuhan selain Aku. Barang siapa yang tidak sabar atas coba’an-Ku maka ia keluar dari kolong langit dan cari tuhan selain Aku.

7.      Tawakkal
al Qusyairi mengatakan bahwa tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu.
Pengertian yang demikian itu sejalan pula dengan pengertian Harun Nasution, ia mengatakan tawakal adalah menyerahkan kepada ketetapan tuhan, selamanya dalam keadaan tentram. Jika dapat pemberian berterima kasih, bila mendapat apa-apa bersikap bersabar  dan menyerahkan kepada qodho dan qhodar-NYA Allah.

2.      AHWAL                                                                                                                                 Ahwal menurut bahasa adalah keadaan, sedangkan menurut istilah, yaitu keadan jiwa dalam proses pendekatan diri kepada Allah SWT.
Menurut Harun Nasution ahwal merupakan keadaan mental perasaan senang, takut, sedih, dan sebagainya.
Adapun menurut Imam al-Ghozali, ahwal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang menyucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, inti pendapat mereka adalah sama, yaitu keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci.Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan pergi begitu cepat, yang disebut lawa’ih, dan ada pula yang datang dan perginya dalam wakyu yang lama, yang disebut bawadih. Maqam diperoleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak melalui usaha, tetapi merupakan rahmat dan anugrah dari Allah, Maqam sifatnya permanen, sedangkan ahwal sifatnya temporer.
Dalam penentuan ahwal terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum sufi. Ahwal yang paling banyak disepakati adalah Muraqabah, Mahabbah, al-Khauf, ar-Raja’, Syauq, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin.

1.Muraqabah
Muraqabah dalam tradisi Sufi adalah kondisi bathin di mana orang memposisikan dirinya pada keadaan waspada dan konsentrasi penuh, sehingga pikiran dan perasaannya selalu terfokus pada kesadaran diri yang matang.
Muraqabah adalah hal atau kondisi yang sangat penting, sebab segala kegiatan spiritual dan segala perilaku dan perbuatan pada hakikatnya ditujukkan untuk pendekatan diri kepada Allah.
Dalam kondisi muraqabah, seseorang selalu sadar bahwa dirinya tidak pernah terlepas dari pengawasan Allah, yang selalu mengawasi semua niat, gerak, tindakan, dan perilaku yang dilakukan pada segala situasi, segala tempat, dan segala waktu.
2.Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang mencinta memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta. . Mahabbah mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela mengorbankan apapunyang ia miliki demi yang dicinta.
Dalam tradisi sufi, mahabbah dianggap demikian tinggi nilainya dalam pencapaian Sufi, ssehingga menetapkan mahabbah sebagian dari maqamat.
3. Khauf (Al Khauf)                                                                                                                Khauf (takut) menurut para ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah kerena khawatir kurang sempurnanya pengabdian. Dalam bukunya (Kuliah Akhlaq) Yunahar Ilyas mendefisikanya sebagai kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya. Definisi ini sepertinya mengacu pada iImam al-Ghazali yang membagi khauf kepada dua macam
1. Khauf karena khawatir kehilangan nikmat dan
2. khauf kepada siksaan sebagai konsekuensi perbuatan kemaksiatan. Oleh karena adanya perasaan seperti itu maka seorang sufi selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatanya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
4. Raja’ (Al Raja’)
            Kata ini berarti satu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahiyang disediakan bagi hamba-hambaNya yang shalih. Karena ia yakin bahwa Allah itu Mah Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Alah SWT.
5. Syauq (Asy Syauq)
             Syauq atau rindu adalah dampak dari sikap mahabbah, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya. Kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah yaitu rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah.
6.Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain. Menurut Ibnu Qoyyim, “Kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan,”  Nabi juga bersabda, “Kebenaran adalah sesuatu yang menyenangkan hati.”


7.Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Seorang sufi bila sudah mencapai musyahadah apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang telah terjadi, segalanya tercurah pada yang satu yaitu Allah. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbul rasa cinta kasih.
8.Yaqin
Dalam terminologi para sufi kita mengenal istilah ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin, haqq al-yaqin. ‘Ilm al-yaqin ialah suatu keyakinan yang telah diperoleh manusia yang merupakan hasil akal fikiranya dalam memikirkan dan memperhatikan bukti dan dalil. ‘Ain al-yaqin ialah keyakinan yang kuat yang diperoleh seseorang dengan perantaran kasyf dan limpahan karunia Allah. Sedangkan Haqq al-yaqin ialah keyakinan yang diperoleh seseorang setelah menyaksikan dengan mata kepalanya atau mata hatinya.
Secara umum al-yaqin dapat dijelaskan sebagai keyakinan yang kuat terhadap suatu kebenaran, berdasarkan kesaksian dari realitas seluruh aspek yang ada.

     B. Pengertian dan Tujuan Mahabbah
a. pengertian mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaanagung dimana orang yang mencinta memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta. Mahabbah mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela mengorbankan apapunyang ia miliki demi yang dicinta.
Dalam tradisi sufi, mahabbah dianggap demikian tinggi nilainya dalam pencapaian sufi, sehingga menetapkan mahabbah sebagian dari maqamat. Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri. Semua itu dilakukan dengan tidak sedikit pun perasaan berat atau tertekan, melainkan semata-mata hanya kesenangan. Kesadaran cinta juga berimplikasi pada rasa penerimaan yang mantap terhadap apapun yang terjadi dialam semesta ini, sehingga segala sesuatu, baik yang mengandung kebaikan, maupun kejahatan, selalu diterima dengan lapang dada.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt”.
Harun Nasution mengatakan mahabbah adalah cinta yang dimaksud adalah cinta kepadaTuhan, antara lain sebagai berikut:
a.        Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
b.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.                                                  c.       Mengosongkan hati dari segala – galanya kecuali dari yang dikasihi yaitu Tuhan.

b. Tujuan Mahabbah
Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para Sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.



C. Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah yaitu menggunakan pendekatan psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir. Harun Nasution mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu:
1.  Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2. Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
3. Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan.
Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb. Kelihatannya sir   bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi oleh cinta kepada Tuhan. Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu sebenarnya telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan ketika berumur empat bulan, dengan demikian alat untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak mengetahui sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman: Artinya: mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (QS. Al-isra’: 85)
D. pengertian dan Tujuan Ma’rifat
a. Pengertian Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi bathin dengan mengetahui rahasianya. Para sufi mengatakan perihal Ma’rifat adalah :
1. Kalau mata dalam hati sanubari manusia terbuka, mata dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2. Makrifat adalah cermin, yang mana yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan. Disebutkan dalam sebuah Hadits Qudsi :
كنت خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعر فت اليهم فعرفونى"”

“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka aku ciptakan mahluk. Maka Aku memperkenalkan DiriKu kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku” (Hadits Qudsi)
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual dengan derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifat adalah anugerah Allah yang didasari kasih Tuhan kepada hamba-Nya.
b. Tujuan ma’rifat adalah berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada eksistensinya yang intern, wasilahnya adalah spiritual.

D. Alat untuk mencapai ma’rifah   
        Alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb(hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yng sebenarnya tentang tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan , yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya tuhan.










BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan penting yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk berada dekat kepada Allah. Sedangkan secara bahasa Al-Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan atau suatu (keadaan rohani), menurut syekh Abu Nash As-sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.
        Dari beberapa pendapat tentang Maqamat disini para sufi berbeda pendapat ada yang mengatakan tujuh, delapan dan sepuluh akan tetapi para sufi sepakat bahwa Maqamat ada tujuh: Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Tawakal, karena karena dalam macam ada yang sudah masuk dalam ahwal (hal), sedangkan hal sendiri dibagi menjadi enam: almusyahada, AlUsn, ath-thuma’minah, ar-raja’, al-khauf, al-muroqobah.
        Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai masuk dalam diri yang dicintai,
Adapun Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zihir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.

                       







DAFTAR PUSTAKA
Handono, 2012. Akhlak. Semarang: PT. Wangsa jatra Lestari.
Tohir, Moinir Nahrowi. 2012. Menjelajahi eksistensi tasawuf. Meniti jalan Menuju Jalan Tuhan. Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera.
Napiah, Othman. 2001. Ahwal Maqamat dalam Ilmu Tasawuf. Malaysia: Johor Darul Ta’zim.


[1] Abudinnata (eds), istilah-istilah tasawuf, (Jakarta rajawali pres, 1998), hlm 75.
[2] Abudinnata, istilah-istilah tasawuf, hlm 75.
[3] Abudinnata (eds), istilah-istilah tasawuf, (Jakarta rajawali pres, 1998), hlm 76

1 komentar: