MAQAMAT, HAL, MAHABBAH, dan MA’RIFAT
DALAM TASAWUF
Disusun Guna MemenuhiTugas
Mata Kuliah : Akhlak
Tasawuf
DosenPengampu : Dr . H.Djasadi, M. P.d.
Disusun Oleh :
Fatkhiyah Eka Himawati (1501036010)
Saefuddin Anwar (1501036019)
Fatimatuz Zahro’ul Batul (1501036020)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang Masalah
Tasawuf
merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang
dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara
menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak
mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan
analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran
yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan
rohaniah (riyadah), lalu secara
bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal(keadaan), dan berakhir dengan
mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat)
menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan
perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan
pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk
memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering
disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan
menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah)
yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai
penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah
orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam
antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli
An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan
mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang
dimaksud adalah maqam-maqam(tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus
dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak bisa dipisahkan. Keduanya ibarat satu sisi dalam satu
mata uang. Keter kaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju tuhan dan
dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal
yang telah ditemukan dalam maqam
akan mengantarkan seseorang untuk mendaki
maqam-maqam selanjutnya.
I.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian
Maqamat, Hal dan Tingkatannya?
B.
Apa Pengertian dan Tujuan Mahabbah?
C.
Apa saja alat untuk mencapai mahabbah?
D.
Apa Pengertian dan tujuan
Ma’rifat?
E.
Apa saja alat untuk mencapai Ma’rifat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN MAQAMAT, HAL dan TINGKATANNYA
1.
MAQAMAT
Maqamat bentuk
jamak dari maqam yang artinya adalah tahapan, tingkatan, atau kedudukan
sedangkan menurut istilah adalah upaya sadar untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Melalui tahapan-tahapan untuk mencapai makrifatullah.
Maqam merupakan
tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan menuju Allah dan akan
berhenti pada saat tertentu. Orang yang menempuh jalan kebenaran (salik)
berjuang hingga Allah memudahkan baginya menumpuh jalan menuju tingkatan kedua.
Misalnya dari tingkatan tobat menuju tingkatan wara’, dari tingkatan wara’
menuju tingkatan zuhud. Demikian seterusnya hingga mencapai tingkatan mahabbah
dan ridha.[1]
Menurut
Abu Bakar al-kalbi dalam bukunya, at-Ta’aruf li Mazhabi ahli Tasawwuf,
maqam yang harus dilalui oleh seorang salik adalah taubat, zuhud, sabar, faqr, rendah
hati, takwa, tawakal, kerelaan, mahabbah, dan makrifat.
Adapun Abu Hasan al-Qusyairi membaginya menjadi tobat, wara’,
zuhud, tawakal, sabar, dan ridha.Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan maksud
dari beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi.[2]
1.
Taubat
Taubat dalam bahasa arab yang berarti “kembali”, sedangkan taubat
bagi kalangan sufi memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan
penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan
dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh
Allah.
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam alqur’an terdapat banyak ayat
yang menjelaskan masalah ini. Yaitu firman Allah (Q.S An-Nur:31)
الى الله جميعا ايها المؤمنون
لعلكم تف
وتوبوا
Artinya:... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada allah, Hai
oramg-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(Q.S An-Nur:31)
2.
Wara’
Secara harfiah wara’ artinya soleh, secara istilah wara’ adalah
menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjahui hal-hal yang tidak baik dan
subhat. Adapun menurut para sufi, wara’ menghindari segala yang diragukan
antara halal dan haram. Ini sejalan dengan (H.R. Bukhori), “Barang siapa yang
dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia terbebas dari yang haram.[3]
3.
Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang
bersiat keduniawian. Secara istilah zuhud adalah suatu kehidupan yang
mengutamakan akhirat dari pada dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan dan
sangat merindukan kesenangan hidup di alam akhirat yang kekal serta abadi.
4.
Faqr
Menurut kaum sufi faqr adalah orang yang memiliki ketulusikhlasan
dalam berbuat dan bertanggung jawab serta tidak meminta lebih daripada yang
menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan memohon rezeqi, kecuali hanya untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
5.
Sabar
Dalam kalangan sufi sabar diartikan sebagai sabar dalam menjakankan
perintah-perintah Allah, dan menerima segala cobaan yang ditimpanya.
Al-Qur’an dan hadis mengibaratkan orang-orang sabar dengan berbagai
gambaran indah. Sabar dibagi menjadi dua bagian, yaitu sabar atas apa yang
diperintahkan Allah SWT, dan sabar atas apa yang di larang-Nya. Adapun sabar
atas apa yang tidak diupayakan seorang hamba adalah sabar dalam menjalankan
hukum Allah SWT yang menimbulkan kesukaran baginya.
6.
Ridho
Secara harfiah ridho adalah suka, Harun Nasution mngatakan ridho,
tidak menentang qada dan qadar Allah. Manusia biasanya suka menerima keadaan
yang menimpa seperti miskin, kerugian, kehilangan.Disini maqamat dalam sikap
ridho melatih diri kita untuk menerima keadaan kita bagaimanapun itu.
Sebagaimana hadis qudsi, Nabi menegaskan. “Sungguh Aku ini Allah tiada tuhan
selain Aku. Barang siapa yang tidak sabar atas coba’an-Ku maka ia keluar dari
kolong langit dan cari tuhan selain Aku.
7.
Tawakkal
al
Qusyairi mengatakan bahwa tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak
dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu.
Pengertian yang demikian itu sejalan pula dengan pengertian
Harun Nasution, ia mengatakan tawakal adalah menyerahkan kepada ketetapan
tuhan, selamanya dalam keadaan tentram. Jika dapat pemberian berterima kasih,
bila mendapat apa-apa bersikap bersabar dan menyerahkan kepada qodho dan
qhodar-NYA Allah.
2.
AHWAL
Ahwal menurut bahasa adalah keadaan, sedangkan menurut istilah,
yaitu keadan jiwa dalam proses pendekatan diri kepada Allah SWT.
Menurut Harun Nasution ahwal merupakan keadaan mental perasaan
senang, takut, sedih, dan sebagainya.
Adapun menurut Imam al-Ghozali, ahwal adalah kedudukan atau situasi
kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik
sebagai buah dari amal saleh yang menyucikan jiwa atau sebagai pemberian
semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, inti
pendapat mereka adalah sama, yaitu keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya
telah bersih dan suci.Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal tidak menentu
datangnya, terkadang datang dan pergi begitu cepat, yang disebut lawa’ih, dan
ada pula yang datang dan perginya dalam wakyu yang lama, yang disebut bawadih.
Maqam diperoleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak melalui usaha,
tetapi merupakan rahmat dan anugrah dari Allah, Maqam sifatnya permanen,
sedangkan ahwal sifatnya temporer.
Dalam penentuan ahwal terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum
sufi. Ahwal yang paling banyak disepakati adalah Muraqabah, Mahabbah, al-Khauf,
ar-Raja’, Syauq, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin.
1.Muraqabah
Muraqabah dalam tradisi Sufi adalah kondisi bathin di mana orang
memposisikan dirinya pada keadaan waspada dan konsentrasi penuh, sehingga
pikiran dan perasaannya selalu terfokus pada kesadaran diri yang matang.
Muraqabah adalah hal atau kondisi yang sangat penting, sebab segala
kegiatan spiritual dan segala perilaku dan perbuatan pada hakikatnya ditujukkan
untuk pendekatan diri kepada Allah.
Dalam kondisi muraqabah, seseorang selalu sadar bahwa dirinya tidak
pernah terlepas dari pengawasan Allah, yang selalu mengawasi semua niat, gerak,
tindakan, dan perilaku yang dilakukan pada segala situasi, segala tempat, dan
segala waktu.
2.Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang
mencinta memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta. . Mahabbah mengandung makna
keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan
selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela mengorbankan apapunyang ia miliki
demi yang dicinta.
Dalam tradisi sufi, mahabbah
dianggap demikian tinggi nilainya dalam pencapaian Sufi, ssehingga menetapkan
mahabbah sebagian dari maqamat.
3. Khauf (Al Khauf) Khauf (takut) menurut para ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa
takut kepada Allah kerena khawatir kurang sempurnanya pengabdian. Dalam bukunya
(Kuliah Akhlaq) Yunahar Ilyas mendefisikanya sebagai kegalauan hati
membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya atau membayangkan
hilangnya sesuatu yang disukainya. Definisi ini sepertinya mengacu pada iImam
al-Ghazali yang membagi khauf kepada dua macam
1. Khauf karena khawatir kehilangan nikmat dan
2. khauf kepada siksaan sebagai konsekuensi perbuatan kemaksiatan. Oleh karena adanya perasaan seperti itu maka seorang sufi selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatanya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
4. Raja’ (Al Raja’)
Kata ini berarti satu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahiyang disediakan bagi hamba-hambaNya yang shalih. Karena ia yakin bahwa Allah itu Mah Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Alah SWT.
5. Syauq (Asy Syauq)
Syauq atau rindu adalah dampak dari sikap mahabbah, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya. Kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah yaitu rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah.
1. Khauf karena khawatir kehilangan nikmat dan
2. khauf kepada siksaan sebagai konsekuensi perbuatan kemaksiatan. Oleh karena adanya perasaan seperti itu maka seorang sufi selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatanya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
4. Raja’ (Al Raja’)
Kata ini berarti satu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahiyang disediakan bagi hamba-hambaNya yang shalih. Karena ia yakin bahwa Allah itu Mah Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Alah SWT.
5. Syauq (Asy Syauq)
Syauq atau rindu adalah dampak dari sikap mahabbah, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya. Kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah yaitu rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah.
6.Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu
yang lain. Menurut Ibnu Qoyyim, “Kebenaran adalah identik dengan ketentraman,
sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan,” Nabi juga bersabda, “Kebenaran adalah
sesuatu yang menyenangkan hati.”
7.Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah
menyaksikan dengan mata kepala. Seorang sufi bila sudah mencapai musyahadah
apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada
dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang telah terjadi,
segalanya tercurah pada yang satu yaitu Allah. Dalam keadaan seperti itu
seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan akan
menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbul rasa cinta
kasih.
8.Yaqin
Dalam terminologi para sufi kita mengenal istilah ilm al-yaqin, ‘ain
al-yaqin, haqq al-yaqin. ‘Ilm al-yaqin ialah suatu keyakinan yang telah
diperoleh manusia yang merupakan hasil akal fikiranya dalam memikirkan dan
memperhatikan bukti dan dalil. ‘Ain al-yaqin ialah keyakinan yang kuat yang
diperoleh seseorang dengan perantaran kasyf dan limpahan karunia Allah.
Sedangkan Haqq al-yaqin ialah keyakinan yang diperoleh seseorang setelah
menyaksikan dengan mata kepalanya atau mata hatinya.
Secara umum al-yaqin dapat dijelaskan sebagai keyakinan yang kuat terhadap
suatu kebenaran, berdasarkan kesaksian dari realitas seluruh aspek yang ada.
B.
Pengertian dan Tujuan Mahabbah
a. pengertian mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaanagung dimana orang
yang mencinta memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta.
Mahabbah mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada
apa yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela
mengorbankan apapunyang ia miliki demi yang dicinta.
Dalam tradisi sufi, mahabbah dianggap demikian tinggi
nilainya dalam pencapaian sufi, sehingga menetapkan mahabbah sebagian dari
maqamat. Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan
dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal,
kecuali ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri. Semua
itu dilakukan dengan tidak sedikit pun perasaan berat atau tertekan, melainkan
semata-mata hanya kesenangan. Kesadaran cinta juga berimplikasi pada rasa
penerimaan yang mantap terhadap apapun yang terjadi dialam semesta ini,
sehingga segala sesuatu, baik yang mengandung kebaikan, maupun kejahatan, selalu
diterima dengan lapang dada.
Pengertian mahabbah
dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi sebagai
berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya
yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang
seorang hamba mencintai Allah swt”.
Harun Nasution mengatakan mahabbah adalah cinta yang dimaksud adalah cinta kepadaTuhan, antara lain sebagai berikut:
Harun Nasution mengatakan mahabbah adalah cinta yang dimaksud adalah cinta kepadaTuhan, antara lain sebagai berikut:
a.
Memeluk
kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
b. Menyerahkan seluruh
diri kepada yang dikasihi. c.
Mengosongkan hati
dari segala – galanya kecuali dari yang dikasihi yaitu Tuhan.
b. Tujuan Mahabbah
Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang
sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para Sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para Sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.
C. Alat Untuk Mencapai
Mahabbah
Para ahli tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah
yaitu menggunakan pendekatan psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada
dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifah
oleh sufi disebut sir. Harun Nasution mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat
yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu:
1. Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat
mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2. Roh,
yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
3. Sir,
yaitu alat untuk melihat Tuhan.
Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb.
Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan
sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah
suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk
mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan
maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan
hanya berisi oleh cinta kepada Tuhan. Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan
itu sebenarnya telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan
ketika berumur empat bulan, dengan demikian alat untuk mencintai Tuhan
sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak mengetahui sebenarnya hakikat
roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman: Artinya:
mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh
itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (QS.
Al-isra’: 85)
D.
pengertian dan Tujuan Ma’rifat
a. Pengertian Ma’rifah dari segi
bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang Ma’rifat adalah
pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi bathin
dengan mengetahui rahasianya. Para sufi mengatakan perihal Ma’rifat adalah :
1. Kalau mata dalam hati sanubari
manusia terbuka, mata dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2. Makrifat adalah cermin, yang mana
yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif saat
tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya Ma’rifat mengambil
bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tidak tahan melihat
kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat
datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan
sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan. Disebutkan dalam sebuah Hadits
Qudsi :
كنت خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت
الخلق فتعر فت اليهم فعرفونى"”
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan
yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka aku ciptakan
mahluk. Maka Aku memperkenalkan DiriKu kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku”
(Hadits Qudsi)
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam
Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam
spiritual dengan derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia pemberian langsung dari
Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal
kebaikan. Ma’rifat adalah anugerah Allah yang didasari kasih Tuhan kepada
hamba-Nya.
b. Tujuan ma’rifat adalah
berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada eksistensinya yang intern,
wasilahnya adalah spiritual.
D. Alat untuk mencapai ma’rifah
Alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb(hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yng sebenarnya tentang tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan , yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya tuhan.
Alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb(hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yng sebenarnya tentang tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan , yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya tuhan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat
orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan penting yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk berada dekat
kepada Allah. Sedangkan secara bahasa Al-Ahwal merupakan jamak dari kata
tunggal hal yang berarti keadaan atau suatu (keadaan rohani), menurut syekh
Abu Nash As-sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang
bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.
Dari beberapa pendapat
tentang Maqamat disini para sufi berbeda pendapat ada yang mengatakan tujuh,
delapan dan sepuluh akan tetapi para sufi sepakat bahwa Maqamat ada tujuh: Wara’,
Zuhud, Faqr, Sabar, Tawakal, karena karena dalam macam ada yang sudah masuk
dalam ahwal (hal), sedangkan hal sendiri dibagi menjadi enam: almusyahada,
AlUsn, ath-thuma’minah, ar-raja’, al-khauf, al-muroqobah.
Mahabbah adalah suatu
keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang
dicintai masuk dalam diri yang dicintai,
Adapun Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal
yang bersifat zihir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui
rahasianya.
DAFTAR PUSTAKA
Handono, 2012. Akhlak. Semarang: PT. Wangsa jatra Lestari.
Tohir, Moinir Nahrowi. 2012. Menjelajahi eksistensi
tasawuf. Meniti jalan Menuju Jalan Tuhan. Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera.
Napiah, Othman. 2001. Ahwal Maqamat dalam Ilmu Tasawuf.
Malaysia: Johor Darul Ta’zim.
I LOVE YOU KAK!!! Gue jg maba di UINWS tahun ini, prodi IH
BalasHapus