fatkhiyah

Senin, 12 Desember 2016

Hak dan Kewajiban dalam Akhlak



HAK DAN KEWAJIBAN DALAM AKHLAK

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen pengampu : Dr. H Djasadi M.pd


Disusun oleh :
1.      FATKHIYAH EKA HIMAWATI           (1501036010)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
 







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari masalah yang berkaitan dengan hak, kewajiban, dan keadilan. Hal ini menunjukan bahwa hak, kewajiban dan keadilan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Namun dalam aplikasinya yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia, terjadi ketidak pahaman antara hak, kewajiban dan keadilan. Terkadang pula kita salah mengartikannya sehingga terjadi ketidak harmonisan dalam kehidupan manusia. Dan tak sedikit juga manusia yang sudah mengetahuinya, akan tetapi mereka enggan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun semuanya kembali kepada akhlak seseorang. Untuk itu kita harus memahami makna dan hubungan antara hak, kewajiban dan keadilan sehingga kita dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hak dalam akhlak?
2.      Bagaimana kewajiban dalam akhlak?
3.      Bagaimana keadilan dalam akhlak?
4.      Bagaimana hubungan hak, kewajiban, dan keadilan dalam akhlak?












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hak dalam Akhlak
1.        Pengertian Hak
          Hak menurut bahasa adalah menetapkan/ketetapan, keharusan, kenyataan, kekhususan bagi sesuatu/seseorang, ketentuan dan kebenaran. Sedangkan menurut istilah:
1)   Kebenaran yang mutlak, hakikat seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-           Baqarah: 147 yang berbunyi
            ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ 
  Artinya: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu  termasuk orang-orang yang ragu.
2)   Kekhususan bagi seseorang bukan bagi yang lainnya, sebagai lawan kewajiban   yaitu sesuatu yang tidak sah bagi orang lain untuk membantah atau menghalang-        halanginya atau melanggar sesuatu yang menjadi hak baginya. Dengan kata lain,          hak adalah sesuatu yang menjadi hak bagi seseorang, menjadi kewajiban bagi   orang lain untuk menghormatinya dengan tidak mengganggunya, tidak                                            melanggarnya, tidak menghalang-halanginya, tidak mengambil tanpa seizinnya dan                              sebagainya.[1]
          Hak juga dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan dengan kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.
           Didalam al-qur’an kita menjumpai juga kata al-haqq, namun pengertiannya agak berbeda dengan pengertian hak yang dikemukakan diatas. Jika pengertian hak diatas lebih mengacu kepada semacam hak memiliki, tetapi al-haqq dalam al-qur’an bukan itu artinya. Kata memiliki yang merupakan terjemahan dari kata hak tersebut diatas dalam bahasa al-qur’an disebut milik, dan orang yang menguasainya disebut malik.
          Dalam perkembangan selanjutnya kata al-haqq dalam al-qur’an digunakan untuk empat pengertian. Pertama, untuk menunjukan terhadap pelaku yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah, seperti adanya ALLAH disebut sebagai al-haqq karena Dialah yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah dan nilai bagi kehidupan. Penggunaan al-haqq dalam arti yang demikian dapat dijumpai pada Al-Qur’an surah Al-An’am: 62
ثُمَّ رُدُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ مَوۡلَىٰهُمُ ٱلۡحَقِّۚ أَلَا لَهُ ٱلۡحُكۡمُ وَهُوَ أَسۡرَعُ ٱلۡحَٰسِبِينَ
Artinya: Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat.
          Kedua, kata al-haqq digunakan untuk menunjukan kepada sesuatu yang diadakan yang mengandung hikmah. Misalnya Allah SWT. menjadikan matahari dan bulan dengan al-haqq, yakni mengandung hikmah bagi kehidupan. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai pada Al-Qur’an surah Yunus: 5
          هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلشَّمۡسَ ضِيَآءٗ وَٱلۡقَمَرَ نُورٗا وَقَدَّرَهُۥ مَنَازِلَ لِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلۡحِسَابَۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ يُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ
Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
          Ketiga, kata al-haqq digunakan untuk menunjukan keyakinan (i’tiqad) terhadap sesuatu yang cocok dengan jiwanya, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya kebangkitan di akhirat, pahala, siksaan, surga dan neraka. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 213
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِۚ وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ ٱلۡحَقِّ بِإِذۡنِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٍ
Artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
          Keempat, kata al-haqq digunakan untuk menunjukan terhadap perbuatan atau ucapan yang dilakukan menurut kadar atau porsi yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan dan waktu. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai pada surah Al-Mu’minun: 71
وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّۚ بَلۡ أَتَيۡنَٰهُم                                               بِذِكۡرِهِمۡ فَهُمۡ عَن ذِكۡرِهِم مُّعۡرِضُونَ
Artinya: Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu
      Selain itu, al-haqq dapat berarti upaya mewujudkan keadilan, argumentasi yang kuat, menegakkan syari’at secara sempurna, dan isyarat tentang adanya hari kiamat. Dengan demikian, seluruh kata al-haqq yang terdapat dalam al-qur’an tidak ada satupun yang mengandung arti hak milik, sebagaimana arti hak yang umumnya lazim digunakan masyarakat.[2]
          Selain itu, Poedjawijanata juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hak ialah semacam milik, kepunyaan, yang tidak hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pikiran itu.[3]
2.      Macam-macam hak
           Hak dipengaruhi oleh dua faktor penting. Pertama, faktor yang merupakan hal (objek) yang di hakki (dimiliki) yang selanjutnya disebut hak objektif. Hak ini bersifat fisik maupun non fisik. Kedua, faktor orang (subjek) yang berhak, yang berwenang untuk bertindak menurut sifat-sifat itu, yang selanjutnya disebut hak subjektif.
           Dalam kajian akhlak, tampaknya hak subjektiflah yang lebih mendapatkan perhatian, yaitu wewenang untuk memiliki dan bertindak. Disebut wewenang bukan kekuatan, karena mungkin saja wewenang (hak) itu tak dapat dilaksanakan karena ada kekuatan lain yang menghalanginya.
           Dilihat dari segi objek dan hubungannya dengan akhlak, hak itu secara garis besar dapat dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu hak hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum, hak mengembangkan keturunan (hak kawin), hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak kebebasan berfikir dan hak mendapatkan kebenaran. Semua hak itu tidak dapat diganggu gugat, karena merupakan hak asasi yang secara fitrah telah diberikan Tuhan kepada manusia, karena yang dapat mencabut hak-hak tersebut hanya Tuhan.
           Hak  manusia dalam sejarah dan masyarakat sering diperlakukan secara diskriminatif. Terhadap kelompok yang satu diberikan kebebasan untuk menyatakan pikiran dan melakukan usahanya dibidang materi, sedangkan pada kelompok yang lainnya dibatasi dan tidak diberikan peluang untuk berusaha. Berkenaan dengan ini maka pada tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan kedua tentang Hak-hak Asasi Manusia. Dalam penyataan tersebut dikemukakan bahwa hak itu berdasarkan atas kemanusiaan, dan kemanusiaan itu intinya bertumpu pada budi pekerti. Pernyataan hak asasi ini dapat dikatakan merupakan kesadaran untuk manusia terhadap nilai kemanusiaannya. Dengan demikian adanya pernyataan tersebut memiliki misi pelaksanaan ajaran moral dan akhlak. Dan disinilah letak hubungan pembahasan masalah hak-hak manusia dengan akhlak.[4]
           Secara garis besar hak dibagi menjadi dua bagian:
1)      Hak tabi’in, yaitu hak manusia yang berlaku menurut fitrahnya, menurut asal kejadiannya bahwa keadaan itu adalah menjadi hak manusia, seperti hak hidup dan hak merdeka.
2)      Hak yang diberikan oleh undang-undang/peraturan, yaitu hak yang dijamin berdasarkan peraturan yang dibuat oleh manusia.[5]

B.     Kewajiban dalam Akhlak
1.      Pengertian Kewajiban
          Oleh karena hak itu merupakan wewenang, bukan berwujud kekuatan, maka perlu ada penegak hukum melindungi yang lemah, yaitu orang yang tidak dapat melakukan haknya manakala berhadapan dengan oranglain yang merintangi pelaksanaan haknya.
          Selanjutnya karena hak merupakan wewenang bukan kekuatan, maka ia merupakan tuntutan, dan terhadap orang lain hak itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksananya hak-hak orang lain. Dengan cara demikian orang lain pun berbuat yang sama pada dirinya, dan dengan demikian akan terpeliharalah hak asasi manusia itu.
          Dengan demikian, masalah kewajiban memegang peranan penting dalam pelaksanaan hak. Namun perlu ditegaskan disini bahwa kewajiban disinipun bukan merupakan keharusan fisik, tetapi tetap berwajib, yaitu wajib yang berdasarkan kemanusiaan, karena hak yang merupakan sebab timbulnya kewajiban itu juga berdasarkan kemanusiaan. Dengan demikian, orang yang tidak memenuhi kewajibannya berarti telah memperkosa kemanusiaannya. Sebaliknya orang yang melaksanakan kewajiban berarti telah melaksanakan sikap kemanusiaannya.[6]
          Kewajiban menurut ilmu akhlak, berarti sesuatu yang diperintahkan oleh perasaan suci hati nurani untuk berbuat, sebab menurut hati nurani dan undang-undang akhlak perbuatan itu adalah baik dan benar.
          Apabila kewajiban tidak ditunaikan, akan mengakibatkan orang lain atau sesuatu yang lain yang mempunyai hak dari pelaksanaan kewajiban tersebut tidak menerima haknya. Kewajiban lawan kata dari hak.
          Didalam kehidupan manusia sebagai mahluk zoon politicon manusia tidak lepas dari rangkaian hak dan kewajiban. Antara hak dan kewajiban selalu bertimbal balik. Suatu yang menjadi hak bagi seseorang adalah menjadi kewajiban bagi yang lainnya untuk dilaksanakan, sehingga memenuhi hak tersebut.
          Didalam masyarakat, sering terlihat manusia lebih terpengaruh oleh dorongan perasaan egoistis yang selalu memperhatikan haknya sendiri, tetapi lupa kepada kewajibannya untuk tunaikan yang menjadi hak orang lain. Didalam penyelidikan ethika, apabila kita semua mendahulukan nenuntut hak dan menangguhkan kewajiban, maka akan berakibat tidak ada yang memberikan hak tersebut kepadanya, sebab orang akan menuntut haknya lebih dahulu sebelum melaksanakan kewajibannya, sehingga tidak ada yang memberikan hak tersebut kepadanya. Akibat mendahulukan hak an menangguhkan kewajiban, maka segala urusan akan menjadi terbengkalai dan macet.
          Tetapi sebaliknya, apabila yang berkewajiban tanpa menunggu haknya lebih dulu melaksanakan kewajibannya, maka tanpa ditunggu yang berhak akan mendapatkan haknya, sebab hak tersebut sudah diberikan oleh orang yang melaksanakan kewajiban itu.
          Didalam ajaran islam, tidak ada suatu perintahpun untuk menuntut hak lebih dulu, yang ada adalah perintah melaksanakan kewajiban dan memberi hak kepada yang lain.
2.      Macam-macam Kewajiban
           Kewajiban-kewajiban manusia dalam hidup ini diarahkan kepada yang wujud , yang garis besarnya terhadap:
1)      Khalik dalam hubungan vertikal
2)      Mahluk dalam hubungan horizontal
     Macam-macam kewajiban manusia menurut arahnya yaitu:
1)      Kewajiban terhadap diri sendiri
     kewajiban yang pertama dan utama bagi manusia adalah mempercayai dengan keyakinan yang sesungguhnya bahwa “tiada Tuhan selain Allah” . Dengan keyakinan bahwa Allah mempunyai segala kesempurnaan. Keyakinan ini merupakan  kewajiban terhadap Allah dan sekaligus  kewajiban manusia terhadap diri sendiri untuk keselamatan dirinya.
2)      Kewajiban terhadap Tuhan Khaliqul’aalam
     Menurut hadist Nabi, yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin jabal bahwa kewajiban manusia kepada Allah  yaitu Mentauhidkan-Nya dan beribadat kepada-Nya.
3)      Kewajiban terhadap manusia lain dan alam semesta.[7]
C.    Keadilan dalam Akhlak
1.      Pengertian Keadilan
     Sejalan dengan adanya hak dan kewajiban tersebut diatas, maka timbul pula keadilan. Poedjawijatna mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak (yang sah). Sedangkan dalam literatur islam, keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara. Keadilan ini terjadi berdasarkan keputusan akal yang  dikonsultasikan dengan agama.
      Mengingat hubungan hak, kewajiban dan keadilan demikian erat, maka dimana ada hak, maka ada kewajiban, dan dimana ada kewajiban, maka ada keadilan, yaitu menerapkan dan melaksanakan hak sesuai dengan tempat, waktu dan kadarnya yang seimbang. Demikian pentingnya masalah keadilan dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nahl: 90.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآء                  ِ    وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ 
      “sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan ALLAH melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (QS An-Nahl: 90)”.
      Ayat tersebut menempatkan keadilan sejajar dengan berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, melarang dari berbuat yang keji dan mungkar serta menjauhi permusuhan. Ini menunjukan bahwa masalah keadilan termasuk masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak sebagai suatu kewajiban moral.[8]
2.      Macam-macam Keadilan
1)     Adil yang berhubungan dengan perorangan ialah tindakan memberikan hak kepada yang mempunyai hak. Bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tindakan adil.
2)     Adil yang berhubungan kemasyarakatan dan pemerintah misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakkan neraca keadilannya dengan lurus maka hakim itu adil, dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia dhalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik dikota maupun didesa.[9]

D.    Hubungan Hak, Kewajiban dan Keadilan dalam Akhlak
            Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, mendarah daging, sebenarnya dan tulus ikhlas karena Allah. Hubungan dengan hak dapat dilihat pada arti dari hak yaitu sebagai milik yang dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang menghalanginya. Hak yang demikian itu merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak harus dilakukan oleh seseorang sebagai haknya.
            Akhlak yang mendarah daging itu kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakan tanpa merasa berat. Sedangkan keadilan sebagaimana telah diuraikan dalam teori pertengahan ternyata merupakan induk akhlak. Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadilan, maka dengan sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara hak, kewajiban dan keadilan dengan akhlak.[10]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
                 Hak yaitu wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan dengan kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.
                 Kewajiban menurut ilmu akhlak, berarti sesuatu yang diperintahkan oleh perasaan suci hati nurani untuk berbuat, sebab menurut hati nurani dan undang-undang akhlak perbuatan itu adalah baik dan benar.
                 keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara.
                 Hak, kewajiban dan keadilan memiliki hubungan yang sangat erat dengan akhlak. Hubungan akhlak dengan hak dapat dilihat pada arti hak yaitu sebagai milik yang dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang menghalanginya, karena akhlak harus dilakukan oleh seseorang sebagai haknya. Akhlak yang mendarah daging itu kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakan tanpa merasa berat. Sedangkan keadilan merupakan induk akhlak. Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadilan, maka dengan sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara hak, kewajiban dan keadilan dengan akhlak.
B.     Penutup
                 Demikian pemaparan tentang hak, kewajiban dan keadilan dalam akhlak serta hubungannya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena kami penyusun mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Terimakasih.



                       


[1] Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Pustaka Panjimas 1996), hlm.118-119.
[2] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hlm. 118-119
[3] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf,  hlm. 117.
[4] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 120-121.
[5] Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Pustaka Panjimas 1996), hlm. 123-124.
[6] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 121-122.
[7] Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), hlm. 125
[8] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 122-123
[9] Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah (suatu pengantar), (Bandung : CV.Diponegoro, 1985), cet.III, hlm. 105.
[10] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 123.

1 komentar: